YPP DARUL HUDA WONODADI Salah Satu Sarana Dakwah Islam di Blitar

Created By Jihan Faridiana

Kota Blitar (Pegon: كَوتَ بلِتَرْ) merupakan sebuah kota yang terletak di bagian selatan Provinsi Jawa TimurIndonesia. Kota ini terletak sekitar 167 km sebelah barat daya Surabaya dan 80 km sebelah barat Malang. Kota Blitar terkenal sebagai tempat dimakamkannya presiden pertama Republik IndonesiaSoekarno. Selain disebut sebagai Kota Proklamator dan Kota Patria, kota ini juga disebut sebagai Kota Peta (Pembela Tanah Air) karena di bawah kepemimpinan Soeprijadi, Laskar Peta melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Februari 1945 yang mengilhami timbulnya perlawanan menuju kemerdekaan di daerah lain.

Berdasarkan legenda, dahulu bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya.Kerajaan adidaya tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa dari Mongolia itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.

Akan tetapi, pada perkembangannya terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja yang tak lain adalah patihnya sendiri. Konflik ini terjadi karena Sengguruh ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan, istri Aryo Blitar I.

Singkat cerita, Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II.Akan tetapi, pemberontakan kembali terjadi.Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Joko Kandung, putra dari Aryo Blitar I. Kepemimpinan Joko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda.Sebenarnya, rakyat Blitar yang multietnis saat itu telah melakukan perlawanan, tetapi dapat diredam oleh Belanda.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No. 17/1950, Kota Blitar ditetapkan sebagai daerah kota kecil dengan luas wilayah 16,1 km². Dalam perkembangannya, nama kota ini kemudian diubah lagi menjadi Kotamadya Blitar berdasarkan Undang-Undang No. 18/1965. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 48/1982, luas wilayah Kotamadya Blitar ditambah menjadi 32,58 km² serta dikembangkan dari satu menjadi tiga kecamatan dengan dua puluh kelurahan. Terakhir, berdasarkan Undang-Undang No. 22/1999, nama Kotamadya Blitar diubah menjadi Kota Blitar.

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad Saw sebagai nabi dan rasul terakhir untuk menjadi pedoman hidup seluruh manusia hingga akhir zaman.Islam (Arab: al-islām, الإسلام, “berserah diri kepada Tuhan”) adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Dalam Al-Quran, Islam disebut juga Agama Allah atau Dienullah (Arab: دِينِ  اللَّهِ). 

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ


“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri (aslama) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” (QS. Ali Imran [3] : 83).

Islam masuk di Blitar dengan cara damai dan diterima baik oleh masyarakat Blitar. Dakwah Islam atau penyebaran agama Islam ini dilakukan dengan cara mendirikan Madrasah, Thoriqoh, maupun Pondok pesantren.Salah satu pondok pesantren yang masih berdiri saat ini adalah YPP Darul Huda yang bertempat di Wonodadi Kab.Blitar.

Darul Huda berdiri atas perjuangan seorang da’I yang bernama Kyai Ali Yani Bin Nur Iman. Pertama kali berdiri lembaga yang sekarang dikenal dengan Darul Huda dahulu tidak mempunyai nama. Kyai Ali Yani memulai dakwah seorang diri. Daerah yang kini megah dengan bangunan-bangunan  gedung Madrasah, Thoriqoh, maupun Asrama Pondok dahulu tak ubahnya suatu daerah yang mengerikan dan sungguh merupakan cerminan penghuninya yang belum mendapatkan Nur Illahi. Sehingga telah menjadi tradisi dalam hidup dan kehidupan mereka sehari-hari meninggalkan norma-norma agama.Mereka tidak segan-segan melakukan perbuatan dosa seperti perjudian, perampokan, minum-minuman keras, pelacuran dsb mereka lakukan di tempat terbuka.Tentu saja hal tersebut membuat hati Kyai Ali Yani “Trenyuh”, oleh karena itu dengan tekad bulat beliau terus maju pantang mundur serta pantang putus harapan memperjuangkan amar ma’ruf nahi munkar di hadapan mereka.Dengan berbekal keyakinan dan keuletan yang beliau miliki, akhirnya lama kelamaan beliau mempunyai pengikut.

Setelah Kyai Ali Yani meninggal, perjuangan beliau diteruskan oleh putranya yang bernama H. Ismail. Seperti halnya ayahnya, H. Ismail juga menghadapi ujian dari orang-orang yang masih sesat itu Mereka tidak bisa menerima petuah-petuah H. Ismail, bahkan meraka ingin membunuh H. Ismail dan para pengikutnya dengan cara menggunakan kekuatan hitam. Sejak dahulu sampai sekarang, yang benar pasti menang. H. Ismail mendapatkan pertolongan dari Allah a telah membantu penjajah Belanda.

Tetapi, penjajah tetaplah penjajah.Setelah Belanda mengetahui kemajuan para santri yang dididik oleh KH.Ismail ada perasaan khawatir yang menjangkiti Belanda. Mereka berusaha dengan segala cara untuk membubarkan pondok, mula-mula dengan cara halus namun tidak berhasil. Akhirnya jalan kekerasanpun digunakan, KH.Ismail dimasukkan penjara selama 6 bulan.Namun, dengan kebesaran Allah, datanglah seorang kerabat yang kebetulan menjadi serdadu Belanda di Surabaya meminta kepada Ndoro Kanjeng untuk membebaskan beliau.Permintaan tersebut dikabulkan, namun dengan pengawasan yang ketat dari Belanda.

Sepulang KH. Ismail dari penjara, rupanya para musuh beliau yang melarikan diri, kembali lagi dengan membawa dendam yang membara.Akhirnya mereka menyusun strategi untuk menghabisi KH.Ismail beserta santri dan keluarganya.Pada malam yang sepi, mereka membakar rumah KH.Ismail.Namun semua selamat. Akhirnya KH. Ismail meninggal dan digantikan oleh putra sulungnya yang bernama KH. Said

 KH.Said dengan ilmu yang dimilikinya mengasuh pondok Gambar.Semakin hari santri beliau semakin banyak.Tahun 1949 terjadilah Agresi Belanda ke II.Pondok Gambar tak luput dari incaran Belanda.Pondok Gambar dijadikan markas oleh Belanda.Namun berkat perjuangan beliau dan para santri akhirnya dapat direbut kembali.Tahun 1961 KH.Said wafat. Setelah KH. Said wafat, kepemimpinan beliau digantikan oleh dua putra beliau yakni KH.Hasan Badri dan KH. Bustomi Said

Pada masa kepimpinan beliau berdua inilah mulai diadakan perubahan-perubahan, disini mulai berdiri MI dan MTs. Pada tahun 1966 dengan resmi Madrasah yang dahulu bernama Hidayatut Tholibin berganti nama dengan DARUL HUDA seperti yang kita kenal sekarang. Dari tahun ke tahun, diadakan penyempurnaan-penyempurnaan tanpa meninggalkan cirri khas Darul Huda dengan bekerjasama dengan DEPAG dan LP Ma’arif, mulai dari sarana dan prasarana maupun kurikulum. Pada masa ini santri-santri Darul Huda banyak yang berasal dari luar Blitar seperti Semarang, Demak, Kudus, Cirebon, Gresik Banyuwangi bahkan dari luar pulau Jawa seperti Lampung dan Makassar.

Pendidikan di Darul Huda pada masa itu :

1.       Pondok Pesantren Darul Huda

2.       Taman Kanak-Kanak Al-Hidayah

3.       Madrasah Ibtidaiyah

4.       Madrasah Tsanawiyah

5.       Madrasah Aliyah

Akhirnya KH. Hasan Badri wafat sedangkan KH.Bustomi Said harus pindah ke Dadaplangu Ponggok karena mendapatkan amanat untuk mendirikan Pondok Pesantren disana.Darul Huda kemudian dipimpin oleh Kyai Muhsin As-Said.Pada masa inilah mulai terjadi kemunduran di Pondok Pesantren dari sisi jumlah.Pada sisi lain, mulai dibentuk Yayasan secara formal dengan Akta Notaris Budi Dharma Kusuma SH No 17/12/1992 dan mulainya berdiri Kopontren (Koperasi Pondok Pesantren) yang merupakan cikal bakal Kopontren Al-Barkah dan Masda Computer Center yang kita kenal sekarang.Tahun 1998 beliau meninggal dalam keadaan masih bujang. Pada tahun yang sama kepemimpinan Darul Huda diamanatkan kepada keponakan Beliau yang bernama Asyharul Muttaqin S.Pd.

            Bukan perjuangan namanya kalau tanpa halangan dan rintangan.Pada awal kepemimpinan beliau, Darul Huda dengan santrinya yang Mbeling-mbeling berusaha beliau rubah menjadi santri yang Mbeneh alias tahu tata karma dan berbudi pekerti yang luhur.Tak jarang beliau menangis tatkala berdo’a memohon kepada Allah agar santri-santrinya diberikan keluhuran budi dan kemulyaan akhlak.Berkat do’a yang begitu tulus dan usaha yang tak kenal lelah, akhirnya hasilnya dapat kita lihat sekarang ini. Santri Darul Huda sekarang terkenal sebagai santri yang  aktif, kreatif dan inovatif.

Selain itu, beliau  juga mulai memasukkan tehnologi ke Darul Huda. Misalnya masuknya computer ke Darul Huda. Disamping itu, mulai diadakannya PPL MI/SD di wilayah se Kawedanan Srengat bagi kelas III Aliyah dan TPQ bagi kelas II Aliyah, di bangunnya sarana olah raga yang lengkap sebagai lapangan multi fungsi (bola basket, bola volley, sepak takraw dll), auditorium, laboratorium computer dan bahasa, preview (tampilan Darul Huda) yang semakin menarik yang menjadikan Darul Huda menjadi salah satu perguruan yang enjoyable bagi para peserta didiknya, serta penambahan berbagai kegiatan ekstra kurikuler seperti olah raga, drum band, P-Club, muhadloroh, seni tarik suara, sholawat, band, pramuka dan masih banyak kegiatan ekstra lainnya yang beliau masukkan ke Darul Huda. Bahkan tahun 2005 kemarin Darul Huda telah mendirikan Radio Pendidikan yang bernama Paramadina FM. Pula tahun 2006 Darul Huda mendapatan bantuan mesin jahit dari Menpora sebagai penghargaan atas keberhasilan Darul Huda mendapatkan juara I lomba sepak takraw se Indonesia di Palembang tahun 2004. Akhirnya latihan menjahit dijadikan salah satu kegiatan ekstra yang sangat diminati oleh santri-santri Darul Huda.

Sejarah Singkat Desa Bajang Kecamatan Talun

Created by Muhammad Bahrul Fawaid

Sejarah penyebaran islam di desa Bajang tidak banyak diketahui. Orang tua mengatakan bahwasanya daerah Bajang yang dulu sudah dihuni oleh kaum muslim. Hal itu juga dibuktikan dengan legenda Syekh Subakir yang telah membabat daerah-daerah di jawa. Titik penyebarannya adalah dari kecamatan-kecamatan di Blitar barat. Perlu diketahui pada saat majapahit dan kerajaan penataran berdiri, Desa Bajang masih berupa hutan yang lebat tak berpenghuni. Sebuah desa yang menjadi rute untuk menuju ke kerajaan yang berada di kabupaten Malang. Seperti Singosari dan Situs-situs lainnya. Tentang asal usul berdirinnya berdasarkan sumber, sekitar abad ke-18 Pangeran Samber Nyowo yang berasal dari Solo waktu desa ini sedang dibabat oleh beberapa masyarakat dan beliau memberi nama Desa Bajang. 

Pada waktu itu beliau Pangeran Sambernyowo datang di Bajang disuguhi makanan buah nangka, tetapi biji buah nangka tersebut amatlah kecil, yang akhirnya disebut nangka Bajang, yang selanjutnya babat desa ini diberi nama Desa Bajang. Desa Bajang dibabat atau didirikan kira-kira pada tahun 1824 oleh para masyarakat diantaranya BAOSEMITO, KROMODONO, JORIO, JONGKILING, KARTODIWONGSO, BENDOK ROMO, KASAN MUNTALIB, MADASIR yang merupakan tokoh/ cikal bakal penduduk Desa Bajang. Pada Tahun 1828 didirikan Pemerintahan desa yang dijabat oleh Kepala Desa  yang pertama yang bernama KROMODONO,  yang ditunjuk Oleh Bapak Bupati Blitar yang bernama Kanjeng Bupati Rongo. Kepala Desa yang pertama Bapak Kromodono menjabat Kepala Desa Bajang  kurang lebih 22 tahun mulai Tahun 1928 sampai Tahun 1850. Selanjutnya di Jabat oleh SODIMEJO selama 2 Tahun.  Untuk Kepala Desa Bajang yang ke 3  dijabat oleh IRO SEMITO alias BUNDER yang lamanya 48 Tahun yang dimulai Tahun 1854 sampai dengan Tahun 1902.    KARTO SENTONO  Merupakan Kepala Desa yang ke 4 (empat) yang menjabat sebagai Kepala Desa Kurang Lebih 43 Tahun dari Tahu 1902 sampai dengan 1945.  Selanjutnya Pemerintahan desa dilanjutkan oleh KARTO SUDARMO sebagai Kepala Desa anak dari Karto Sentono yangmenjabat kurang lebih 14  Tahun dari Tahun 1945 sampai dengan 1959. Tapi sebelunya menjabat  Kepala Desa beliau menjabat sebagai Carik didesa ini sejak Tahun 1935.    Pada tahun 1959 sampai dengan Tahun 1980 dijabat oleh HARDJO UTOMO yang sebelumnya sebagai Kebayan sejak tahun 1933 dan pada tahun 1936 menjabat sebagai Kamituwo Dukuh Bogangin sampai dengan Tahun 1959. Dalam kepemimpinan bapak Hardjo Utomo  desa Bajang mengalami  Kemajuan yang sangat Pesat dan memenangkan beberapa Perlombaan baik tingkat Kecamatan, Kabupaten, Propinsi bahkan Tingkat Nasional.    Setelah Bapak Hardjo Utomo meninggal dunia pada Tahun 1980, maka Kepala Desa mengalami kekosongan, untuk mngisi Pejabat Kepala Desa diangkatlah Pejabat Sementara Sdr, KARMANI yang dulunya sebagai Kamituwo Dukuh Gogosuket, mulai menjabat PJ. Kepala Desa 3 Maret 1980 sampai dengan 1982.    Dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri terhitung mulai bulan September 1980 sebagai tindak Lanjut dari Undang-Undang Nomor. 05 Tahun 1979 desa Bajang berubah status menjadi Kelurahan dengan Klasifikasi Desa Swasembada.   Adapun Kepala Kelurahan yang Pertama dijabat oleh Sdr. Praminto berasal dari Kelurahan Wlingi, Sejak itulah Kepala Kelurahan Berasal dari Unsur Pemerintah Daerah.

Sebagian sumber merupakan kutipan dari https://goo.gl/DYGbub  dan berdasarkan pengamatan di jangkep silsilah desa Bajang di Komplek Pemakaman umum desa Bajang

Sejarah Blitar dan Islam di Gandusari

created by Mohammad Efendi

Kecamatan Gandusari merupakan kecamatan di Blitar,kabupaten yang subur dan masih asri karena dalam perkembangannya masih belum di bilang maju. Meski itu Blitar adalah tempat asal pejuang, ilmuwan, daerah bersejarah dan tokoh presiden RI pertama. Kecamatan Gandusari terletak di perbatasan utara yakni Ngantang, Kota Batu dan kecamatan yang merupakan kecamatan Blitar wilayah utara.

Di sini saya menuliskan cerita sejarah Islam di Kecamatan(PonPes APIS Gondang Blitar) dan kabupaten Blitar. Di mana asal usul yang saya sukai adalah cerita Pondok dekat desa saya yakni desa Gondang, Tirakat dan wirai sang Kyai yang menginspirasi dan lain sebagainya, namun saya akan mencuplik Blitar sebelumnya. Cerita ini tergolong legenda. Nama Blitar konon diambil dari nama Kadipaten Aryablitar dahulu. Legenda ini sangat dikenal oleh masyarakat Blitar. Makam Adipati Nila Suwarna juga masih dapat dijumpai hingga sekarang. Tempatnya di Desa Blitar, Kecamatan Sukorejo, Kota Blitar.

Cerita ini memberi pelajaran kepada kita agar jangan mudah percaya dengan perkataan orang lain. Apa yang dikatakan orang lain perlu dibuktikan sendiri kebenarannya. Jangan sampai kepercayaan kita dimanfaatkan orang lain yang berniat tidak baik.

Kota ini terletak sekitar 167 km sebelah barat daya Surabaya dan 80 km sebelah barat Malang. Kota Blitar terkenal sebagai tempat dimakamkannya presiden pertama Republik Indonesia Suekarno

Selain disebut sebagai Kota Proklamator dan Kota Patria, kota ini juga disebut sebagai Kota Peta karena di bawah kepemimpinan Suepriadi, Laskar Peta melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Jepang untuk pertama kalinya pada tanggal 14 Februari 1945 yang mengilhami timbulnya perlawanan menuju kemerdekaan di daerah lain.

Ikan koi yang populer di Jepang dapat dibudidayakan dengan baik di kota ini sehingga memberikan julukan tambahan sebagai Kota Koi.[2]

Berdasarkan legenda, dahulu bangsa Tartar dari Asia Timur sempat menguasai daerah Blitar yang kala itu belum bernama Blitar. Majapahit saat itu merasa perlu untuk merebutnya. Kerajaan adidaya tersebut kemudian mengutus Nilasuwarna untuk memukul mundur bangsa Tartar.

Keberuntungan berpihak pada Nilasuwarna, ia dapat mengusir bangsa dari Mongolia itu. Atas jasanya, ia dianugerahi gelar sebagai Adipati Aryo Blitar I untuk kemudian memimpin daerah yang berhasil direbutnya tersebut. Ia menamakan tanah yang berhasil ia bebaskan dengan nama Balitar yang berarti kembali pulangnya bangsa Tartar.

Akan tetapi, pada perkembangannya terjadi konflik antara Aryo Blitar I dengan Ki Sengguruh Kinareja yang tak lain adalah patihnya sendiri. Konflik ini terjadi karena Sengguruh ingin mempersunting Dewi Rayung Wulan, istri Aryo Blitar I.

Singkat cerita, Aryo Blitar I lengser dan Sengguruh meraih tahta dengan gelar Adipati Aryo Blitar II. Akan tetapi, pemberontakan kembali terjadi. Aryo Blitar II dipaksa turun oleh Joko Kandung, putra dari Aryo Blitar I. Kepemimpinan Joko Kandung dihentikan oleh kedatangan bangsa Belanda. Sebenarnya, rakyat Blitar yang multietnis saat itu telah melakukan perlawanan, tetapi dapat diredam oleh Belanda.

Kota Blitar mulai berstatus gemeente (kotapraja) pada tanggal 1 April 1906 berdasarkan peraturan Staatsblad van Nederlandsche Indie No. 150/1906. Pada tahun itu, juga dibentuk beberapa kota lain di Pulau Jawa, antara lain Batavia, Buitenzorg, Bandoeng, Cheribon, Kota Magelang, Samarang,Salatiga, Madioen, Soerabaja, dan Pasoeroean.

Dengan statusnya sebagai gemeente, selanjutnya di Blitar juga dibentuk Dewan Kotapradja Blitar yang beranggotakan 13 orang dan mendapatkan subsidi sebesar 11.850 gulden dari Pemerinthan Hindia Belanda. Untuk sementara, jabatan burgemeester (wali kota) dirangkap oleh Residen Kediri.

Pondok Pesantren “APIS SANAN GONDANG” adalah lembaga pendidikan   Islam berbasis salaf yang didirikan oleh Maha Guru Muhammad Djamhuri, yang terkenal dengan nama KH. SHODIQ DAMANHURI atau juga KYAI SANAN. Pada tahun 1939 M Hadrotus Syaikh mendirikan Pesantren di Desa Gondang Kec. Gandusari Kab. Blitar yang terletak 18 km dari kota Blitar.
Setelah beberapa tahun, perkembangan pesantren APIS Sanan Gondang menjadi sangat pesat. Para santri dari berbagai penjuru daerah telai mulai berdatangan untuk menimba ilmu. Sistem pengajaran yang sebelumnya hanya berbentuk bandongan atau weton dengan sejumlah kitab kuning,untuk tahap selanjutnya telah mulai menerapkan sistem madrasah.Selanjutnya pesantren APIS Sanan Gondang terus mengadakan perbaikan dalam hal sistem pendidikan guna menggali warisan keilmuan dari para ulama salaf.
KH. Shodiq Damanhuri di lahirkan pada tahun 1904 M dari Jajar Selopuro, Kecamatan Wlingi ,Blitar. Waktu lahir oleh ayahnya K. Munadcha di beri nama Muhammmad Djamhuri dan sehari hari biasa di Djamhur ,karena itu masyarakat sekitar mengikutinya, sehingga otomati waktu nama saat kelahiran mengalami perubahn bahkan oleh keponakn biasa di panggil pak dja dan Lik embuer sebagai panggilan keakraban dan kesayangan. Nama ini menjadi hilang dengan sendiri setelah beliau terkenal dengan predikat kehormatan pak Kyai “sanan” . Ayah NYA BERNAMA MmUNJJAD BIN Abdhuk Ghanni dan ibunya bernama NyaI Siti Aishah binti H. Ali Mas’ud. Silsilah dari ibunya ada sebuah catatn yang menjelaskan bah Muttasil (bertemu) dengan Rasulullah SSAW, namun panitia penyusu masih meneliti lebih dalam dengan sumber sumber yang di andalkan baik keluarga Jawa Timur maupun Nasab dari Purworejo Kebumen Cilacap , yang merupakan daerah asal nenek moyang beliau perlu di jelaskan di sini bahwa urutan nasab dari Rasulullah SAW, melalui jalur Nasab perempuan 3 kali, yaitu pada Nyai siti Aisyah (ibunya) kemudian pada nenek ibunya yaitu Nyai Ali IBRAHIM Lalu terakhir pada Sayyidah Fahimah

beliau nikah dengan bu Nyai Hijrah di sanan Gondang. Dari situlah awal berdirinya PonPes APIS pada saat itupondok masih belum di bangun, masih berupa lahan yang cukup untuk gubuk Kyai,dan tempatnya terkenal dengan keangkeranya. Tempat demit dan di sekalilingnya tempat perjudiaan, wanita nakal alias begengge dari situlah mulainya Mbah Kyai tidak di sukai masyaakat. Singkat cerita dengan kesungguhan KYAI untuk berjihad di situ, yang tirakatnya dan istiqamah yang kuat dalam menjalankan sesuatu. Alhamdulillah ,tempat perjudian dan perzinaan itu telah tutup . Mulailah santri yang mau mengaji, sampai akhirnya terbentuk pondok APIS yang terkenal ke istiqamaahan kyai nya sampai jadi julukan Al ISTHOKHOMTU KHOIRUN ALFI KAROMAH ,bahkan ada yang bercerita murid beliau yang bernama Ust Mansur:”Mbah Kyai kentutnya saja Istiqamah ajeg, rokok e, ke kamar mandi apalagi ibadahnya lebih rutin lagi. Waktunya ngaji, makan ,kentut pun nada dan waktu yang sama. Bahkan hal terkecil (wira’i) pun di Istiqamahkan apalagi hal yang baik dan lain. Pernah juga ketika Mbah KYAI mengamalkan suatu tirakat sampai punya sakit kuning  karena makan hanya dengan kunir dan nasi yang di bungkus dalam kresek yang di tusuk lidi kalu jatuh itu yang di makan sselama 41 hari

   TUJUAN

– Membentuk manusia yang bertaqwa kepada Alloh SWT dan mampu hidup mandiri.

– Menguasai ilmu syariat dengan kemprehensif yang berlandaskan ahli sunnah wal jama’ah

– Terampil dalam menguasai kitab kuning

– Berguna bagi nusa,bangsa dan negara
PROGRAM UNGGULAN PESANTREN APIS

Mendalami kitab-kitab karya ulama’salaf

Sorogan kitab kuning dengan tanpa harokat dan makna

Diskusi Fiqih Ilmiah ( Bahtsul Masa’il )

Pembelajaran baca al Qur’an dengan kaidah yang benar.Bagi santri senior ada pembacaan kitab Ihya’ Ulumiddin, Shahih Bukhori, Shohih Muslim, al Hikam,Sirojut Tholibin dan kitab berat lainnya.Bagi santri senior ada pembacaan kitab Ihya’ Ulumiddin, Shahih Bukhori, Shohih Muslim, al Hikam,Sirojut Tholibin dan kitab besar lainnya

   KEGIATAN EKSTRAKURIKULER

Pelatihan Baca Manaqib

Pelatihan Seni Baca Al Qur’an ( bit Taghony )

Masuknya Islam di Ranah Kediri

created by Rediansyah Bembi Saputra

Di kota Kediri ini agama islam mulai masuk tidak langaung diterima baik oleh masyarakat sini Agama islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat indonesia pada saat ini. Kondisi semacam ini tentunya tidak terjadi dengan waktu yang singkat dan cara yang instan, namun butuh waktu yang lama dan proses yang bertahap sehingga agama islam dapat menjadi agama mayoritas di Indonesia ini. Dalam melihat perkembangan agama islam di Indonesia tentunya harus dilihat terlebih dahulu dalam perspektif sejarah, dalam hal ini adalah proses islamisasi salah satunya di Kota Kediri. Kita dapat mengetahui bagaimana bisa masuk di Kota Kediri, kita bisa mengetahui awal Agama Islam masuk di kota ini dengan makam serta prasasti yang ada di daerah Kediri, terdapat beberapa makam islam tua yang salah satunya dan paling banyak dikaji secara arkeologis adalah makam tokoh yang masyarakat Kediri dikenal sebagai “ gus miek yangyang berada disebuah pemakaman yang dikenal sebagai Setono Gedong yang secara arsitektur bangunan menunjukkan makam ini dibangun pada masa peralihan Hindu ke Islam, yang bisa dibuktikan dengan adanya pintu gerbang makam yang berbentuk gapura padurasa bersayap yang terbuat dari batu bata dan beberapa ornamen bermotif sulur dan medallion yang mengelilingi makam ini. Akan tetapi mengeani tokoh yang sering di sebut gus miek ini belum ada kejelasannya, hal ini di karenakan prasasti yang ada benda-benda peninggalan pada masanya sudah mulai usang dan sulit untuk di tafsirkan, sehingga sulit sekali memutuskan siapa sebenarnya sebagai gus miek dan hidup di abat atau tahun berapa, menurut informasi yang di dapat dari para sejarawan Kota Kediri terdapat salah satu Kerajaan yang berada di Kota Kediri yaitu Kerajaan Kediri yang menganut Agama Hindu pada abat ke-14, namun bagaiman tokoh yang bernama gus mie  ini bisa mengajarkan agama islam padahal terdapat kerajaan yang menganut agama Hindu.

KH.khamim Ghazali informasi yang bisa di dapat sekarang ini beliau merupakan ulama yang berasal dari Turki, Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsuddin.

Pertama, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama  Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri. Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasar pertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan Raja Jayabaya yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara kultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu. Namun ini terbantah bahwa Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru.

Kedua, kemiripan dari nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah gus mi sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.

Jika pendapat itu benar, lalu siapakah Khamim Ghazali itu  atau gus miek adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.

            Selama berdakwah da menyebarkan Agama Islam di Kediri beliau memiliki 2 murid yaitu Ki Hajar Subroto dan Sang Prabu Joyoboyo, kedua muidnya itu memiliki kemakrifatan yang berbeda, yang mana Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan). Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yg berbeda.Ki Hajar diperintahkan untuk membuka, Sang Prabu diperintahkan untuk menutup. Peninggalan yang masih ada sampai saat ini yaitu Masjid Setono Gedong yang memiliki serambi yang cukup luas serta Tiang-tiang penyangga serambi masjid masing-masing dihiasi lafal “Allah” di bagian ujungnya. Di tembok serambi atau di atas pintu masuk ruang utama masjid terdapat ukiran-ukiran menggunakan huruf arab yang membentang dari selatan hingga utara serambi. Hiasan ukiran memanjang dan ramai pada dinding serambi yang mengingatkan kita pada tulisan-tulisan huruf cina berupa mantra yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan ditempatkan di dinding kuil-kuil Cina. 

Pada bagian pojok timur laut serambi terdapat satu kentongan berposisi vertikal ditopang kayu menyilang dan satu kentongan yang digantung berjajar dengan bedug. Di sebelah kiri terdapat bangunan joglo kecil yang terdapat relief Burung Garuda di situs Setono Gedong, yang dipahat pada sisi sebuah batu persegi yang bagian atasnya berbentuk bunga teratai yang bulat dan gemuk di tengah berhias garis-garis lengkung, dengan bagian atas rata. Relief Garuda itu ternyata dipahat pada keempat sisi batu di situs Setono Gedong ini. Dalam kepercayaan Hindu, Garuda adalah burung tunggangan Dewa Wisnu. Di sebuah area di situs Setono Gedong ada sebentuk batu yang menyerupai mangkuk besar yang rata permukaannya, diletakkan di atas umpak yang ornamennya sudah tidak begitu terlihat lagi. Batu yang menumpang di sebelah kiri atas batu memanjang, memiliki ukiran relief manusia duduk bersila, jari-jari tangan menangkup, sebatas dada, tanpa kepala. Relief yang lazim di candi. Pendopo situs ini tanpa dinding, dengan atap susun tiga, yang disangga lima baris pilar kayu yang masing-masing berjumlah enam buah.

Pembuktian secara artefaktual dapat ditunjukkan satu bukti namun sangat lemah yaitu adanya tulisan yang berupa epitaph di makam Setono Gedong. Epitaf itu menyebutkan gelaran-gelaran yang dimakamkan di tempat itu.

Sumber lain berasal dari cerita masyarakat mengungkapkan bahwa di Setono Gedong adalah makam Syekh Wasil, mungkin karena gelarnya yang menyebut pangeran Makkah, mungkin karena ada indikasi ia adalah orang Arab pembawa Islam di tanah Panjalu atau Kediri. Masyarakat Kediri meyakini bahwa Syekh Wasil hidup bahkan menjadi guru raja Jayabaya. Sumber dari cerita masyarakat perlu diperhatikan namun tidak dapat dijadikan landasan ilmiah.

Sumber tertulis berasal dari Ramalan Jayabaya Musasar (Awujud Tembang) memberikan penjelasan bahwa Islam masuk ke Jawa jauh sebelum adanya walisongo. Bahkan bukti nyata tentang pemukiman di Leran, memberikan informasi jelas bahwa pada abad ke 10-13 kekuasaan yang ada adalah Panjalu di Kediri dan Jenggala di Kahuripan mempunyai pengaruh besar tehadap masyarakat internasional. Hal ini dipertegas tentang komunikasi perdagangan di Pelabuhan Hujung Galuh dan Kambang Putih jauh sebelum masa Kediri sudah ada.
Bukti Islam sudah ada di komunitas di pusat Kerajaan Panjalu atau Kediri mendasari keyakinan masyarakat memenang (pusat Kerajaan Kediri masa Jayabaya) mengadakan ritual yang disebut suroan sebagai indikasi pewarisan sikritisme budaya Islam dan Hindu-Budha pada masa Jayabaya.

Masuknya Islam di Kota Kediri

created by Hendri Adi Nugroho

Agama islam merupakan agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat indonesia pada saat ini. Kondisi semacam ini tentunya tidak terjadi dengan waktu yang singkat dan cara yang instan, namun butuh waktu yang lama dan proses yang bertahap sehingga agama islam dapat menjadi agama mayoritas di Indonesia ini. Dalam melihat perkembangan agama islam di Indonesia tentunya harus dilihat terlebih dahulu dalam perspektif sejarah, dalam hal ini adalah proses islamisasi salah satunya di Kota Kediri. Kita dapat mengetahui bagaimana bisa masuk di Kota Kediri, kita bisa mengetahui awal Agama Islam masuk di kota ini dengan makam serta prasasti yang ada di daerah Kediri, terdapat beberapa makam islam tua yang salah satunya dan paling banyak dikaji secara arkeologis adalah makam tokoh yang masyarakat Kediri dikenal sebagai “Mbah Wasil” yang berada disebuah pemakaman yang dikenal sebagai Setono Gedong yang secara arsitektur bangunan menunjukkan makam ini dibangun pada masa peralihan Hindu ke Islam, yang bisa dibuktikan dengan adanya pintu gerbang makam yang berbentuk gapura padurasa bersayap yang terbuat dari batu bata dan beberapa ornamen bermotif sulur dan medallion yang mengelilingi makam ini. Akan tetapi mengeani tokoh yang sering di sebut sebagai Mbah Wasil ini belum ada kejelasannya, hal ini di karenakan prasasti yang ada benda-benda peninggalan pada masanya sudah mulai usang dan sulit untuk di tafsirkan, sehingga sulit sekali memutuskan siapa sebenarnya sebagai Mbah Wasil dan hidup di abat atau tahun berapa, menurut informasi yang di dapat dari para sejarawan Kota Kediri terdapat salah satu Kerajaan yang berada di Kota Kediri yaitu Kerajaan Kediri yang menganut Agama Hindu pada abat ke-14, namun bagaiman tokoh yang bernama Mbah Wasil ini bisa mengajarkan agama islam padahal terdapat kerajaan yang menganut agama Hindu.

Mengenai asal-usul dari Syekh Wasil informasi yang bisa di dapat sekarang ini beliau merupakan ulama yang berasal dari Turki, Ada dua sumber yang dapat digunakan untuk menelusuri siapa Sulaiman Al-Wasil Syamsudin atau Syekh Wasil alis Mbah Wasil. Syekh Wasil alias Mbah Wasil,

Pertama, sebagaimana yang dikemukakan oleh beberapa ahli dimungkinkan adalah seorang ulama besar dari Persia yang datang ke Kediri untuk membahas kitab musyarar atas undangan dari Raja Jayabaya. Tokoh inilah yang kemudian berupaya menyebarkan dan mengembangkan agama  Islam di Kediri. Sebagai seorang ulama besar atau tokoh penting yang berjasa mengembangkan Islam di Kediri maka wajar jika setelah meninggal beliau mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Kompleks bangunan makam Setono Gedong merupakan salah satu wujud penghormatan yang diberikan oleh masyarakat terhadap jasa beliau dalam mengembangkan agama Islam di Kediri. Berkaitan dengan pendapat di atas, terdapat beberapa pemahaman dasar pertama kedatangan Maulana Ali Syamsuddin di Kediri pada masa pemerintahan Raja Jayabaya yaitu pada abad XII M. Pada masa ini kebudayaan Hindu-Budha khususnya di Kediri sedang mencapai puncak kejayaan sehingga mustahil jika Islam sudah mendapatkan tempat, baik secara kultural maupun secara politis di masyarakat Kediri pada waktu itu. Namun ini terbantah bahwa Kerajaan adalah sentral kebudayaan apapun sumbernya. Baik agama yang terlanjur sudah berkembang maupun update keilmuan serta pemahaman baru.

Kedua, kemiripan dari nama antara Maulana Ali Syamsuddin dengan Sulaiman Al-Wasil Syamsudin belum dapat digunakan sebagai bukti bahwa dua nama itu mengarah pada satu orang yang sekarang makamnya ada di kompleks bangunan makam Setono Gedong jika tidak didukung oleh data-data atau bukti yang valid. berdasarkan pada bukti-bukti arkeologis, khususnya berdasarkan hasil komparasi terhadap arsitektur dan ornamentasi maka lebih tepat jika kompleks makam Setono Gedong dibangun sekitar abad XVI M. Oleh karena itu penelusuran sejarah Syekh Wasil atau Mbah Wasil sebaiknya mengarah pada tokoh-tokoh penyebar agama Islam di Kediri pada masa itu.

Jika pendapat itu benar, lalu siapakah Syekh Wasil atau Mbah Wasil itu Syekh Wasil atau Mbah Wasil adalah tokoh penyebar agama Islam di Kediri yang hidup sejaman dengan para Wali Songo. Tokoh ini dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat dekat dengan seorang wali, yaitu Sunan Drajat yang merupakan putra kedua dari Sunan Ampel. Pendapat ini didasari oleh dua indikasi, pertama adanya kesamaan arsitektur bangunan dan ornamentasi yang terdapat di kompleks bangunan makam Setono Gedong dengan kompleks bangunan makam Sunan Drajad di Lamongan. Kedua, Istri Sunan Drajat adalah Retno Ayu Condro Sekar, seorang Putri Adipati Kediri yang bernama Suryo Adilogo.

            Selama berdakwah da menyebarkan Agama Islam di Kediri beliau memiliki 2 murid yaitu Ki Hajar Subroto dan Sang Prabu Joyoboyo, kedua muidnya itu memiliki kemakrifatan yang berbeda, yang mana Ki Hajar Subroto dari sisi keagamaan (bekas pertapa), sedang Prabu Joyoboyo dari sisi pemerintahan (Kerajaan). Sehingga keduanya dipesan dengan wasiat yg berbeda.Ki Hajar diperintahkan untuk membuka, Sang Prabu diperintahkan untuk menutup. Peninggalan yang masih ada sampai saat ini yaitu Masjid Setono Gedong yang memiliki serambi yang cukup luas serta Tiang-tiang penyangga serambi masjid masing-masing dihiasi lafal “Allah” di bagian ujungnya. Di tembok serambi atau di atas pintu masuk ruang utama masjid terdapat ukiran-ukiran menggunakan huruf arab yang membentang dari selatan hingga utara serambi. Hiasan ukiran memanjang dan ramai pada dinding serambi yang mengingatkan kita pada tulisan-tulisan huruf cina berupa mantra yang dipercaya dapat mengusir roh jahat dan ditempatkan di dinding kuil-kuil Cina. 

Pada bagian pojok timur laut serambi terdapat satu kentongan berposisi vertikal ditopang kayu menyilang dan satu kentongan yang digantung berjajar dengan bedug. Di sebelah kiri terdapat bangunan joglo kecil yang terdapat relief Burung Garuda di situs Setono Gedong, yang dipahat pada sisi sebuah batu persegi yang bagian atasnya berbentuk bunga teratai yang bulat dan gemuk di tengah berhias garis-garis lengkung, dengan bagian atas rata. Relief Garuda itu ternyata dipahat pada keempat sisi batu di situs Setono Gedong ini. Dalam kepercayaan Hindu, Garuda adalah burung tunggangan Dewa Wisnu. Di sebuah area di situs Setono Gedong ada sebentuk batu yang menyerupai mangkuk besar yang rata permukaannya, diletakkan di atas umpak yang ornamennya sudah tidak begitu terlihat lagi. Batu yang menumpang di sebelah kiri atas batu memanjang, memiliki ukiran relief manusia duduk bersila, jari-jari tangan menangkup, sebatas dada, tanpa kepala. Relief yang lazim di candi. Pendopo situs ini tanpa dinding, dengan atap susun tiga, yang disangga lima baris pilar kayu yang masing-masing berjumlah enam buah.

TULUNGAGUNG: MASJID BERATAPKAN TUMPANG

created by Nadila Rena Febriyanti

Berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Tulungagung telah memberi warna baru dalam bangunan masjid. Atap masjid telah memilih ciri gaya campuran antara budaya Hindu dan Islam, seperti atap dari suatu bangunan arsitektur sering dipergunakan sebagai salah satu indikator yang menunjukkan daerah asal bangunan tersebut. bentuk dalam suatu bangunan arsitektur di desain aspek fungsional, adanya unsur estetika dan simbolis (unsur formal). Demikian juga di dalamnya terselip latar belakang konsepsi ajaran yang melandasi, sebagai aspirasi dan tujuan dari pendukungnya yang hidup dalam masa dan lingkungan tertentu.

Tingkah laku dan benda hasil penelitian akan menjadi jelas apabila sudah dapat diketahui sistem gagasan yang dianut dan lingkungan budaya yang merangsangnya. Dengan demikian akan diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang benda hasil suatu kebudayaan yang berasal dari suatu masa tertentu. (Kusen; 1993:91-92). Benda-benda peninggalan sejarah, sebagian besar berasal dari suatu masa klasik (Abad 15-16), yang menunjukkan adanya keterkaitan dengan kehidupan beragama. Benda-benda peninggalan tersebut, sebagai refleksi dari suatu perjalanan dan perkembangan agama yang melatarbelakangi dalam kurun waktu dan ruang tertentu.

Berkembangnya agama dan kebudayaan Islam dari menggantikan agama dan kebudayaan Hindu telah berlangsung sekitar abad 15-16. Hal ini dengan munculnya masjid-masjid sebagai tempat peribadatan bagi umat Islam dalam proses Islamisasi di Pulau Jawa. Masjid-masjid pada saat itu memiliki denah bujur sangkar dengan bagian yang tinggi dan pejal, terdiri atas tiga atau lima susun yang dihiasi dengan “Terakota” bakar yang dikenal dengan nama memolo atau mustaka. Demikian juga umumnya bangunan masjid itu diberi kelengkapan tembok keliling dengan sebuah pintu masuk berupa gapura dan menara masjid sebagai seruan adzan. (Baca Sumarno, Tini Suhartini, et; 1996:128-130).

Kajian ini akan menyoroti tentang proses akulturasi atap tumpang masjid dengan budaya Hindu, khususnya atap “Meru” di Kabupaten Tulungagung ditinjau dari fisik bangunan masjid. Kajian ini cenderung mengarah kepada penulisan sejarah lokal. (Taufik Abdullah; 1979:21-22). Dan penulisan sejarah bangunan masjid yang lebih menonjolkan keadaan fisik masjid sebagai proses akulturasi budaya Islam dengan budaya Hindu. Berbagai ciri khas dari apa yang terpaparkan di atas di daerah Tulungagung memilikinya, maka dari itu Masjid Beratapkan Tumpang Akulturasi dari Budaya Meru.

Melihat kajian dan permasalahan ini, disini beberapa hal yang perlu diperjelas batasannya seperti; penggunaan atap tumpang yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan tingkatan yang paling atas berbentuk limas. Namun menurut kepercayaan Agama Hindu, bahwa atap tumpang (Meru) ini berasal dari bahasa sansekerta, mempunyai arti gunung, dan gunung ini merupakan tempat tinggalnya para dewa. Sedangkan Masjid merupakan salah satu bentuk bangunan dengan daerah bujur sangkar sebagai tempat orang Islam melakukan ibadah yang dapat dilakukan secara masal maupun secara individual serta kegiatan-kegiatan lain yang ada dalam hubungannya dengan aktivitas kebudayaan Islam. (Soekamto; 1973:85).

Arsitektur Masjid

Berkembangnya Agama Islam di Indonesia banyak memberikan pengaruh terhadap kebudayaan di Jawa khususnya. Banyak karya seni maupun kebudayaan masa awal Islam memiliki ciri sebagai gaya campuran antara seni dan kebudayaan Hindu dan Islam. Hal ini dapat kita lihat dari hubungan dagang yang saling pengaruh dan mempengaruhi dalam kontak secara langsung antar pedagang Islam dan Hindu.

Seni bangun Islam yang berpusat pada seni bangun masjid saat itu sangat dipengaruhi oleh unsure-unsur seni budaya Hindu. Hal ini dapat kita lihat sampai saat ini. Masjid-masjid pada waktu itu memiliki denah bujur sangkar dengan bagian kaki bangunan yang tinggi dan atap terdiri atas tiga sampai lima susun yang dikenal dengan nama “memolo” atau “mustaka” (dalam bahasa sansekerta “meru”). Umumnya bangunan masjid ini diberi kelengkapan tembok keliling dengan sebuah pintu masuk berupa gapura.

Bentuk gapura sebagai pintu masuk ke masjid, di Kabupaten Tulungagung dapat dilihat pada masjid Tawangsari, masjid Majan, masjid Sunan Kuning. Padahal kita ketahui bentuk gapura ini seperti pada bangunan candi, yaitu bentuk gapura paduraksa atau gapura bentar (lihat candi bentar kompleks candi di Trowulan Mojokerto). Bentuk mihrobnya dibuat melengkung menyerupai bentuk kalamakara. Dengan kata lain arsitek masjid pada awal Islam merupakan perkembangan dari bentuk candi yang telah dimodifikasi (akulturasi) sesuai dengan keperluan Agama Islam masa itu.

Mengenai menara masjid perkembangannya berlangsung kemudian, mula-mula seruan untuk sembahyang (adzan) dilakukan ditingkat teratas dari atas bangunan masjid. Namun perkembangan ini mengalami perubahan setelah banyaknya para emigrant Arab dan India di Indonesia mempengaruhi kehidaupan masjid, maka dibangunlah menara-menara sebagai bangunan yang menempel atau berdiri sendiri. Masjid-masjid di Tulungagung, bangun menara lebih banyak berdirisendiri terlepas dari bangunan induk masjid. Seperti masjid Tawangsari,masjid Majan, dan masjid Al-Fatah Manungsari. Selain itu ciri khas seruan sembah yang biasanya dilakukan dengan pemukulan bedug atau tabuh sebagai tanda akan dimulainya waktu sholat.

Biasanya letak masjid itu di-dirikan dekat dengan istana tempat kedudukan seorang adipati (tanah lapang yang letaknya disebelah utara istana). Namun yang terjadi di Kabupaten Tulungagung pembangunan masjid kuno letaknya ditentukan dalam suatu tempat yang keramat. Seperti tempat seorang wali atau ahli agama yang termasyhur dimakamkan. Hal ini dapat dilihat sampai saat ini, masjid-masjid kuno seperti masjid Al-Fatah Manungsari, masjid Sunan Kuning, masjid Tawangsari, masjid Majan. Kemudian kompleks masjid makam keramat tersebut dijadikan tempat ziarah bagi orang yang masih menganggap sebagai tempat yang sangat dihormati dan disakralkan.

Konsepsi Masjid

KATA MASJID berarti tempat sujud, tempat umat Islam mendirikan sholatnya. Sebenarnya sholat dapat dilakukan dimana saja, karena Allah ada di mana saja, sehingga setiap jengkal tanah di atas bumi ini merupakan masjid. Namun dalam praktiknya untuk sholat bersama selalu disediakan tempat tersendiri atau bangunan khusus dengan batas yang nyata dan jelas. Di Indonesia pembatasan itu diperjelas sangat terperinci dan masjid itu adalah tempat orang (umat Islam) melakukan sholat berjama’ah. (Soekmono, 1973:75-76). Jadi dapat diartikan bahwa masjid sebagai suatu bangunan tempat orang-orang Islam (umat Islam) melakukan ibadah, yang dapat dilakukan secara bersama-sama (massal) maupun secara sendiri (individu) serta kegiatan-kegiatan lain dalam hubungan dengan kebudayaan Islam itu sendiri.

Masjid sebagai bangunan arsitektur memiliki fungsi yang dapat dipergunakan bagi kegiatan-kegiatan umat Islam. Fungsi umum dari suatu masjid adalah sebagai tempat untuk melakukan hubungan antara manusia dengan Allah dalam bentuk sholat. Namun proses perkembangannya masjid sebagai tempat melakukan hubungan antar manusia dalam bentuk tempat berzakat, acara-acara pernikahan, tempat mencari ilmu dan mangaji serta acara-acara kebudayaan Islam lainnya. (Zein Wiryoprawiro, 1986:155-156).

Ditinjau dalam bentuk bangunan, masjid banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan setempat (lokal) pada masa itu. Munculnya pola dan langgam dari masjid yang mendominasi daerah-daerah tertentu menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari kebudayaan lokal. Hal tersebut merupakan suatu bentuk proses akulturasi (percampuran kebudayaan Islam dan kebudayaan lokal) yang sudah berkembang dalam kehidupan masyarakat sebelum masuknya Agama Islam. Semuanya itu menandakan bahwa langgam-langgam tersebut tidak merupakan suatu dogma yang harus dianut secara kaku, sebab ia akan selalu dipengaruhi oleh ruang dan waktu.

Bila kita sekarang perhatikan masjid kuno atau masjid peninggalan zaman madya Indonesia (zaman kebudayaan Indonesia dipengaruhi proses Islamisasi setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit) di Kabupaten Tulungagung bentuknya telah mengalami proses akulturasi dari kebudayaan Hindu. Masjid kuno di Tulungagung dilihat bentuknya memiliki cirri-ciri khas, diantaranya :

a). Berdenah persegi (bujur sangkar)

b). Mempunyai serambi depan dan samping

c). Memakai pagar keliling dengan satu pintu utama (gapura)

d). Beratap tumpang dan arah kiblat ke barat

e). Penopangnya berupa tiang kayu

f). Menara masjid ditingkat teratas dari atas bangunan masjid yang berdiri terlepas dari bangunan induk masjid

g). Mempunyai kocehan/kolam

adanya bentuk masjid di Tulungagung dengan ciri-ciri tersebut menimbulkan penafsiran tentang asal mulanya proses akulturasi budaya masa runtuhnya kerajaan Majapahit (proses Islamisasi di Jawa). Hal ini dapat dilihat dari bentuk bangunan beratap tumpang, pintu masuk utama dalam bentuk gapura dan mempunyai serambi di samping maupun belakang. Hal serupa menurut pendapat Stutter heim menyebutkan bentuk dasar masjid Indonesia adalah bangunan “wantilan” di Pulau Bali. Pemilihan bentuk serupa dengan “wantilan”, karena ada hubungannya kebutuhan ruang yang besar dan luas agar dapat menampung banyak orang untuk melakukan sholat bersama-sama. Ini juga dipertegas pendapat Pijiper yang mengatakan bahwa bentuk masjid-masjid kuno Indonesia merupakan bentuk tradisi asli dan mungkin bisa dihubungkan dengan konsep “meru”. (Sumarno, Tini Suhartini, dkk; 1996:129-133). R. Soekmono berpendapat bahwa ada 3 (tiga) hal penting berkenaan dengan bangunan masjid-masjid peninggalan zaman madya, seperti;

Atap berupa atap tumpang, yaitu atap bersusun dalam bentuk limas dengan jumlah tumpang selalu ganjil

Letak masjid senantiasa berdekatan dengan istana dan alun-alun

Tidak adanya dan adanya menara masjid

Konsepsi Meru

KATA MERU berasal dari bahasa sansekerta, yang punya arti gunung. Gunung bagi sebagian kepercayaan Agama Hindu sebagai Linggih Sang Hyang Widhi (tempat tinggalnya para dewa-dewa). Di India gunung maha meru dianggap simbol alam semesta, sehingga puncaknya disimboliskan sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi beserta dengan segala manifestasinya. Menurut kepercayaan Hindu kuno di Bali, gunung, simbolis alam, pangkal gunung lambang alam bawah, tengah gunung lambang alam tengah dan puncak gunung adalah lambang alam atas. Hal ini dapat diartikan bahwa gunung ini alam tempat dewa atau Linggih Sang Hyang Widhi.

Atap dalam budaya bangunan meru secara fisik dengan tingkatan-tingkatan atap yang berbeda-beda dan selalu ganjil, yaitu tingkatan satu, tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas. Jumlah tingkatan atapnya tidak ada hubungannya dengan fungsinya. Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolis dari pada “pengelukunan dasaksara”, sebagai jiwanya seru sekalian alam (Hurip Bhuana). Ada 10 (sepuluh) huruf suci sebagai “hurip bhuana”, weknyo disepuluh penjuru alam ditambah di tengah. Adapun kesepuluh huruf itu adalah :

– Sa   di timur                     – Na     di tenggara

– Ba  di selatan                   – Ma     di barat

– A    di utara                       – Si       di barat laut

– Ta   di barat                      – Wa     di timur laut

– I      di tengah                   – Ya      di tengah

jadi penunggalan sepuluh huruf itu menjadi satu, yaitu AMKARA.

Berdasarkan keterangan yang telah diuraikan di atas, meru mempunyai 2 (dua) pengertian, pertama; meru adalah lambang Gunung Maha Meru. Gunung adalah lambang semesta alam Pelinggih Ida Sang Hyang Widhi yang sebenarnya. Kedua; meru adalah melambangkan suatu tempat yang berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur di komplek-komplek pura di Bali, khususnya Pura Besakih. (Baca: Wisma, Tjok Raka Krisnu dan I.B. Kodesindhu; 1985:15-20). Dengan demikian konsepsi meru, merupakan lambang alam semesta sebagai tempat Ida Sang Hyang Widhi berada dan tempat pemujaan roh suci bagi leluhurnya. Demikian pengertian simbolisme meru yang mempunyai arti dan makna filosofis yang sangat dalam.

Akulturasi Budaya Atap Tumpang Masjid Dan Meru

KEISTIMEWAAN masjid di Indonesia, salah satunya penggunaan atap tumpang yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dan tingkatan paling atas berbentuk limas. Tradisi penggunaan atap tumpang seperti itu, terutama pada bangunan-bangunan suci telah berkembang masih di Indonesia pada pra Islam. Bahkan kalau dilihat hingga kini, atap tumpang masih umum dipergunakan atap bangunan suci Hindu di Bali.

Tradisi atap tumpang pada zaman pra Islam buktinya dapat kita lihat pada relief-relief candi Jawa Timur, adanya penggambaran atap tumpang mungkin sekali untuk candi atau bangunan suci lainnya. Walaupun atap tumpang candi tidak ada sisa-sisanya yang menjadi bukti, namun dugaan kuat dapat kita peroleh dari beberapa candi yang memperlihatkan adanya kontruksi mengarah ke atap tumpang. Candi Boyolangu di Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung misalnya, yang ditemukannya sejarah umpak di atas lantainya. Hal ini dapat diperkirakan bahwa pada masa lalu candi tersebut merupakan kontruksi kayu dan beratap tumpang.Atap pada bangunan suci atau candi Hindu, berdasarkan atas kosmologinya, sebagai simbol “swahloka”, tempatnya para dewa beristana, sedang di dunia nyata kita ini adanya gunung suci di-identifikasikan sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Oleh karena itu atap tumpang sering pula dianggap sebagai simbol gunung maha meru, tempat beristananya Dewa Siwa dengan dewa-dewa lainnya. Maka disini muncul suatu anggapan dan keyakinan bahwa makin tinggi atau makin banyak jumlah atap tumpangnya, makin suci atau makin tinggi status bangunan tersebut. Variasi jumlah atap tumpang merupakan refleksi tingkat kesucian dan dewa yang dipuja melalui satu bangunan suci.

Tradisi seperti di atas masih tetap bertahan dalam keyakinan masyarakat Hindu di Pulau Bali. Bangunan suci disebut meru dengan bentuk denahnya bujur sangkar dan pada bagian puncak atapnya diberi hiasan mustika yang terbuat dari batu atau tanah liat yang dibakar. Bagian atapnya disangga oleh tiang-tiang kayu dan pada bagian luar dari biliknya ditutup dengan tembok. Atap tumpang meru selalu dalam jumlah ganjil, ini didasarkan pada kepercayaan bahwa angka ganjil merupakan angka keramat. Jumlah atap meru tidak lebih dari sebelas, karena dewa-dewa Hindu sebagai penguasa mata angin dan manifestasi dari Tuhan jumlahnya sebelas atau kelipatan sebelas. Jadi jelas bahwa atap tumpang pada bangunan suci Hindu atau pra Islam, mempunyai  makna simbolik sesuai dengan latar belakang ajaran agamanya. Jumlah atap tumpangnya sangat terkait dengan makna dan fungsi bangunan tersebut, khsusunya sebagai media pemujaan terhadap bentuk-bentuk manifestasi Tuhan.

Demikian pula kiranya kondisi yang terjadi pada masa-masa awal Islamisasi di Tulungagung. Bangunan masjidnya sebagian besar menggunakan atap tumpang, walaupun dalam segi simbolik tidak dapat dikatakan pengambil alihan dari simbolik pada masa Hindu/pra Islam. Namun dari segi bentuk banyak yang melanjutkan atau memodifikasi bentuk yang ada sebelumnya, lalu simboliknya disesuaikan dengan ajaran Islam.

Terjadinya pengambilalihan bentuk atap tumpang antara lain disebabkan kuatnya tradisi yang telah berkembang sebelumnya dan adanya perbedaan interpretasi terhadap Ayat Suci Al-Qur’an, yang tidak menjelaskan secara implisit (elesplisit) bentuk fisik bangunan masjid. Hal ini menimbulkan berbagai penafsiran, karena bentuk bangunan masjid, walaupun terkait dengan fungsi, akan sangat mempengaruhi arah ruang dan waktu.

Arti simbolik dalam penggunaan atap tumpang masjid maupun bentuk estetika ditiap daerah belum tentu mempunyai kesamaan. Namun secara umum kiranya simbolik atap tumpang dari masjid menjurus  pada persamaan pendapat. Misalnya atap tumpang dua dikaitkan dengan dua kalimat syahadat, yaitu pengakuan tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan (Rasul) Allah. Sedangkan atap tumpang tiga dihubungkan dengan Iman, Islam dan  Ihsan. (Abay D. Subarno; 1985:1-15)

Pengambilalihan tradisi bentuk atap tumpang pada masa Islamisasi di Tulungagung tidak terlepas pula dari proses berkembangnya Islam di Indonesia, yaitu jalur yang telah dilaluinya. Seperti kita ketahui, masuknya Islam ke Indonesia dengan cara damai dan sebelumnya terlebih dahulu melewati jalur India, sebagai pusat kebudayaan Hindu. Mungkin saja dalam proses tersebut telah terjadi interaksi dengan kebudayaan Hindu India saat memasuki Indonesia, bentuk ajaran Islam sudah hidup dan berkembang dimasa pra Islam disesuaikan dengan ajaran Islam. Bentuk atap tumpang  yang sudah menjadi tradisi pada bangunan suci Hindu masih tetap dipakai dengan makna simbolik yang berbeda dari sebelumnya. Penggunaan atap tumpang pada bangunan masjid di Tulungagung masa pra Islam atau zaman madya dan pemberian makna simbolik sesuai dengan ajaran Islam memberikan dampak positif dalam perkembangan selanjutnya. Masyarakat Tulungagung masa itu yang sudah memahami  dengan baik makna simbolik atap tumpang pada bangunan suci pra Islam, merasakan tidak adanya perubahan drastis, sehingga memudahkan diterimanya Islam di Tulungagung. Hal ini kiranya sesuai dengan adanya kaidah dakwah, yaitu upaya menarik sebanyak mungkin untuk menjadi umat Islam.

Uraian di atas dapat dikatakan bahwa penggunaan atap tumpang pada masjid pada zaman madya di Tulungagung, khususnya masjid-masjid kuno telah memiliki ciri sebagai gaya campuran antara seni dan kebudayaan Hindu dan Islam. Hal ini dapat kita lihat dari seni bangunan masjid kuno di Tulungagung seperti Masjid Tawangsari, Masjid Majan, Masjid Sunan Kuning, Masjid Al-Fatah, dll.

Secara fisik bangunan masjid kuno di Tulungagung memiliki denah bujur sangkar dengan bagian kaki bangunan yang tinggi dan atap terdiri atas tiga sampai lima susun atap tumpang meru. Bentuk dasar masjid ini seperti bangunan “wantilan” pada kebudayaan Hindu di Bali. Untuk bentuk halaman dikelilingi dengan sebuah tembok dan pintu masuk berupa gapura. Bentuk gapura ini seperti pada bangunan candi, yaitu bentuk gapura paduraksa atau gapura bentar (Kompleks candi-candi di Trowulan-Mojokerto).

Bentuk mihrobnya dibuat melengkung menyerupai bentuk kalamakara pada Candi Hindu. Namun dalam perkembangnya bentuk ini telah dimodifikasi (berakulturasi) sesuai dengan keperluan Agama Islam masa itu. Demikian juga menara masjid sebagai seruan adzan yang dilakukan ditingkat teratas dari atas bangunan. Menara masjid ini di Tulungagung lebih banyak berdiri sendiri terlepas dari bangunan induk masjid. Selain itu juga ciri khas seruan adzan juga biasanya dilakukan dengan pemukulan bedug atau tabuh, sebagai tanda dimulainya waktu sholat.

Melihat apa yang diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa penggunaan atap tumpang masjid zaman madya di Tulungagung disebabkan adanya beberapa faktor seperti; pertama, peran dan pengaruh unsur lokal atau warisan budaya sebelum Islam terhadap perkembangan kebudayaan Islam, sehingga berkesinambungan pada masa madya. Kedua, adanya interpretasi dan titik tolak terhadap maksud dan makna filosofi bentuk masjid dan bentuk atap meru. Ketiga, adanya bentuk-bentuk simbolik dan estetika yang saling berbeda antara kedua bangunan suci itu, masjid dan meru

KHASANAH KEBUDAYAAN ISLAM DI TULUNGAGUNG MAKAM TOKOH ISLAM

created by Dovan Rendra Maulana

Menelusuri jejak-jejak peradaban Islam, tentu memiliki metode atau cara sendiri untuk mendapatkan berbagai informasinya. Terkait historiografi Islam lokal memang tidak bisa dilepas begitu saja dari adanya warisan leluhur yang bisa dijadikan referensi proses kehidupannya, salah satunya adalah makam atau kuburan. Menelusuri jejak peradaban Islam lokal membutuhkan daya dukung yang optimal dalam penelusuran kisah peristiwanya.

Makam menjadi rujukan penelitian secara antropologis maupun geografis, melihat serta mengamati kondisi geografis makam, batu nisan, kijingan, dan jirat ukiran yang ada, merupakan tanda-tanda untuk menuju penelusuran sebuah kisah sejarah. Keberadaan makam itu sendiri memberikan tanda-tanda yang dapat merekonstruksi sejarah sosok tokoh yang di makamkan.

Selain itu, mengamati kondisi tekstur geografis keberadaan kawasan makam merupakan bagian petunjuk observasi berkelanjutan. Menjadi rujukan utama pada kondisi makam adalah wujud batu nisan serta keberadaan tulisan dari sosok tokoh yang akan dikaji.

Makam bisa menjadi rujukan pertama apabila ingin menelusuri jejak-jejak sejarah peradaban Islam lokal. Pada wujud makam sendiri menunjukkan status siapa yang dimakamkan disitu. Selain itu, juga terdapat tradisi tutur lisan yang berkembang pada masyarakat sekitar makam atau kuburan tersebut.

Hal tersebut akan memberikan informasi yang dinamis apabila keberadaan makam dapat terkondisikan, maksudnya adalah bentuk asli batu nisan, kijingan, dan lain sebagainya yang mendukung keberadaan situs makam atau kubur aslinya belum mengalami perubahan (renovasi).

Meskipun terdapat renovasi, setidaknya jangan sampai meninggalkan, apalagi sampai mengahancurkan, atau merubah bentuk wujud aslinya pertama kali sosok tersebut di makamkan. Memang hal tersebut pasti akan terjadi tindakan perenovasian, dan harus disadari bagi ahli waris maupun warga agar peninggalan leluhur jangan sampai hilang identitas keluhurannya.

Namun kondisi sedemikian rupa memang sering terjadi adanya perenovasian wujud makam aslinya. Berbagai alasan menjadi salah satu perenovasian yaitu kondisi makam sudah rusak dan bentuk penghormatan makam perlu untuk direnovasi. Sehingga ketika menganalisis dan mengamati bentuk makam kadang mengalami kesulitan, ada juga wujud makam aslinya di tutup dengan bangunan renovasian.

Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah Islam lokal melalui adanya sebuah makam dimungkinkan memiliki asumsi-asumsi yang dapat membuka jalan penelusuran jejak-jejak sejarah peradaban lokal. Dikarenakan ragam cerita khasanah Islam lokalitas memberikan petunjuk-petunjuk secara harmonis, mengingat keberadaan makam tokoh Islam senantiasa dijadikan rujukan untuk ziarah dari generasi ke generasi.

Dalam pengantarnya pada buku Historiografi Islam, Prof. Dr. H. Afif Muhammad, M.A., yang tidak lain menuturkan bahwasanya sejarah berusaha mencari struktur dan tata dalam kebudayaan. Kebudayaan merupakan sebuah struktur dan bentuk, sedangkan sejarah adalah bentuk kejiwaan masa lalu. Sejarah adalah cara mengenal dunia yang perlu dikritisi objektivitasnya, dalam arti mempunyai komitmen pada kejujuran dan ketekunan dalam mengenal objeknya. Sejarah bukanlah ilmu alam, tetapi dengan metodenya sendiri, sejarah adalah sumbangan penting bagi kebudayaan. Sejarah perlu mencari hubungan antar peristiwa sehingga dapat dipahami realitasnya. Setiap detail dipandang sebagai simbol dari keseluruhan dan satuan yang lebih besar. Hanya dengan pengetahuan tentang keadaan umum itu, orang akan terhindar dari perangkap peristiwa yang tak terhingga jumlahnya. Sejarah filosofis menekankan faktor manusia dalam menuntun kemajuan, sebagai kekuatan yang menggarisbawahi proses dan struktur historis. Oleh karena itu, kebudayaan adalah sebuah kenyaataan yang kompleks.

Salah satunya melalui peninggalan yang berupa makam atau kuburan, adanya sebuah bentuk makam menjadikan penelusuran sosok tokoh menjadi pembuka jalan untuk penelusuran yang lebih mendalam. Sejarah dan kebudayaan yang masih ada, akan memberikan petunjuk terhadap peradaban yang sudah dibangun oleh sosok tokoh yang di makamkan tersebut.

Untukitu, perlunya kesadaran menjaga keaslian tatanan leluhur jangan sampai dirubah,mengingat anak cucu nantinya mempelajari sejarah dari kemurnian. Meskipunbermaksud niat yang baik, namun harus diimbangi dengan kesadaran, bahwasanyasejarah terbaca dari kemurnian dan keaslian warisan peninggalan leluhur.

MAKAM TOKOH ISLAM DI TULUNGAGUNG

Makam merupakan suatu tempat untuk penguburan orang yang sudah tidak mempunyai nyawa atau orang meninggal. Dalam Bahasa Arab disebutkan sebagai Maqom, bisa diartikan tingkatan yang tinggi. Dari situ penulis bisa sekelumit mengartikan bahwasanya makam atau maqom (sebutan kearaban) tempat yang tinggi ketika manusia sudah meninggal dunia yaitu kuburan, pasarean (Bahasa Jawa) (Hasan;1998:97-98).

Selama ini yang terdapat di daerah Tulungagung memang memiliki ciri dan identitas terkait siapa yang di makamkan, dan juga siapa yang dimakamkan. Nuansa kawasan pemakamannya pun memiliki keragaman bentuk berbagai model bangunan yang menyerupai simbolisasi penghormatan terhadap siapa yang di makamkan.

Kehadiran makam-makam Islam di Jawa memiliki hubungan erat dengan adanya perkembangan dan sosialisasi Islam. Orang muslim dari berbagai kawasan dari belahan Asia seperti India, Arab, dan Persi telah mengadakan kontak dengan komunitas Jawa atau Nusantara sekitar abad 7-8 Masehi. Tanda kedatangan Islam di Pulau Jawa sendiri dapat dibuktikan dengan adanya kubur di Daerah Leran, Gresik. Salah satu nisan dalam komplek tersebut berangka tahun 475 H/ 1082 M dengan nama Fatimah Binti Maiumun Bin Hibatallah (Hasan;1998:99).

Begitu pula makam-makam yang terdapat di daerah Tulungagung, senantiasa juga memiliki ciri dan identitas pada makam dan kawasannya. Hal itulah yang menjadi pertanda sosok pembabad maupun penyebar ajaran-ajaran Islam pada masanya.

Keberadaan makam sosok tokoh Islam di Tulungagung, senantiasa sebagian besar sudah mengalami perenovasian secara total, meskipun ada beberapa makam yang masih asli sejak awal pemakaman. Makam tokoh Islam yang sudah mengalami perubahan secara fisik jiratnya di daerah Tulungagung seperti; KHR. Khasan Mimbar, Kiai Abu Mansur, Eyang Anom Puro, Mbah Basyarudin, dan lain sebagainya.

Makam dan kisah peristiwa sejarahnya jelas, bahwasanya makam dan sosok yang dimakamkan adalah pejuang Islam pada masanya. Kisah kehidupan mereka masih terekam baik oleh keturunan maupun lingkungan masyarakat.

Sisi makam yang menjadi lokasi berziarah warga memang identik dengan nuansa makam yang religi. Terdapat al Qur’an maupun buku pedoman tahlil, hal tersebut memang menjadi ciri khas makam Islam yang senantiasa tetap dijadikan ziarah religi bagi warga lokal maupun dari daerah lain.

Lokasi makam yang sudah terkenal tidak luput setiap waktu diziarahi oleh warga, sedangkan warga sendiri memiliki ritual religi di area makam tokoh Islam tersebut. Tradisi ziarah religi memang sudah terpatri dengan baik, sehingga wisata ziarah religi merupakan bagian tingkat kereligiusan warga.

Kehadiran warga dalam berziarah menunjukkan esensitas dari tokoh yang di makamkan, maksudnya semakin banyak yang berziarah menandakan identitas tokoh Islam tersebut memang memiliki kharismatik tersendiri. Selain itu, tentunya sosok yang di makamkan tersebut memiliki jasa-jasa terhadap daerah yang menjadi tempat pemakamannya.

Banyak makam-makam sosok tokoh Islam yang terdapat di daerah Tulungagung, dari keberadaan makam-makam tersebut memberikan karakter dan identitas terhadap ragam lingkungan dan masyarakat Tulungagung.

Kebudayaanmasyarakat dalam wisata ziarah religi telah memberikan simbolisasi tingkatreligiusan mereka. Masyarakat sekitar makam memang memiliki kesadaran untukmenjaga, melestarikan, dan merawat. Hal tersebut nampak pada makam-makam tokohIslam yang terdapat di daerah Tulungagung, keberadaan makam yang bersih danterjaga lingkungannya dari gangguan manusia jahat.

MAKAM; SIMBOLISASI BUDAYA MASYARAKAT LOKAL

Berbagai jenis model makam pada sosok tokoh Islam lokal di Tulungagung, telah memberikan petunjuk terkait dengan kisah dan peradaban masa silam yang di makamkan. Bahkan tradisi yang ada pada masyarakat saat pemakaman pun memiliki budaya dan tingkat religius yang berbeda-beda, akan tetapi memiliki satu tujuan yaitu, karena Allah Swt.

Batu nisan, merupakan wujud tanda dari siapa yang di makamkan, selain itu juga dapat memberikan informasi kapan dan siapa yang di makamkan. Untuk itu perlunya kesadaran bagi yang akan merenovasi makam tokoh Islam dipertimbangkan terlebih dahulu, agar generasi berikutnya tidak mengalami kesulitan dalam menelusuri jejak-jejak bersejarah tersebut.

Makam tokoh Islam yang ada telah banyak mengalami renovasi wujud klasik ke model modern. Selain itu, yang cukup menakutkan adalah keberadaan jirat atau tulisan yang menunjukkan identitas yang di makamkan telah berubah atau dihilangkan dengan penggantian batu nisan baru.

Hal tersebut memang patut disayangkan, dan juga perlunya kesadaran terhadap leluhur yang di makamkan. Keberadaan makam sendiri memang memiliki bahan informatif bagi peneliti maupun peminat sejarah Islam. Sehingga memang sungguh penting untuk bisa dijaga keasliannya tanpa menghilangkan identitas aslinya ketika pertama kali sosok tokoh Islam tersebut di makamkan.

Makam-makam yang ada, terutama terkait dengan tokoh Islam senantiasa memiliki ragam bentuknya. Keunikan bentuk, label pada batu nisan, serta aksesoris religi yang disematkan pada suatu makam, menandakan siapa yang di makamkan dan perjuangannya semasa masih hidup.

Makam yang berada di sebelah barat bangunan masjid, merupakan bentuk langgam klasik keberadaannya. Di daerah Tulungagung, keberadaan makam di sebelah barat bangunan masjid masih banyak dijumpai. Pada dasarnya adanya makam tersebut tidak terlepas dari bentuk penghormatan kepada tokoh yang di makamkan dan perjuangannya semasa masih hidup.

Area pemakaman di sebelah barat masjid memang tidak sembarangan, yang di makamkan sendiri khususnya memiliki pengaruh atau jasa terhadap lingkungan masjid. Baik yang mewakafkan tanah untuk masjid, membangun bangunan masjid, dan lain sebagainya. Intinya semasa hidupnya orang-orang tersebut telah berbuat kebaikkan karena Allah swt., untuk berdakwah dan mensyiarkan Islam.

CUNGKUP MAKAM

Sering kali diketahui keberadaan makam sosok tokoh Islam atau makam pembabad suatu daerah terletak menyendiri, meskipun di area makam banyak terdapat makam-makam lainnya. Identifikasi makam yang di dalam cungkup, merupakan makam tidak sembarangan. Biasanya sosok yang di makamkan tersebut memiliki jasa-jasa pada masa kehidupannya, atau sosok yang dihormati oleh masyarakat.

Bangunan cungkup yang selama ini diketahui, merupakan suatu lokasi untuk makam-makam orang penting, atau semasa hidupnya berjasa. Cungkup sendiri identik dengan kenyaman bagi peziarah dalam melakukan ritual religi yang dianutnya, atau pengamalan religi dimilikinya.

Maka dari itu, mayoritas makam-makam klasik sosok tokoh Islam memiliki cungkup yang unik dan baik untuk dijadikan peziarah dalam melakukan ritual religi. Cungkup sendiri memiliki berbagai bentuk dan ukuran berbeda-beda, seperti makam KHR. Khasan Mimbar keberadaan makamnya meskipun terdapat pada sebuah cungkup namun memiliki ruang terbuka.

Cungkup kadang juga menjadi identitas siapa yang di makamkan, mengingat hal tersebut seharusnya lingkungan dan warga melestarikannya. Khasanah lokalitas yang terdapat di daerah, khususnya di daerah Tulungagung memang memberikan nilai-nilai pendidikan yang normatif.

Terutama sejarah dan peristiwa penting yang perna terjadi, serta mengakibatkan ruang media belajar kearifan lokal. Khasanah kehidupan dan ruang prilaku masyarakat terdahulu memang dapat dijadikan media pembelajaran diri bagi setiap manusia pada suatu masa.

Untuk itu pentingnya merawat dan melestarikan warisan leluhur berupa tradisi tutur lisan dan kuburan, dapat memberikan asupan gizi mutu setiap manusia pada jamannya. Sehingga keberadaan warisan leluhur yang membabad dan membangun peradaban tidak musnah atau ditinggalkan oleh generasi ke generasi, atau bahkan yang mengerikan adalah sampai tidak adanya pemahaman terhadap leluhur.

Pondok Pesantren Jawahirul Hikmah (JH) Besuki

created by Yully Nur Afifah

Lereng pegunungan itu tak hanya dirimbuni aneka pepohonan. Tapi, berpetak-petak kolamikan juga menghiasi di sepanjang tepi jalan. Di lokasi itu pula,bangunan-bangunan kokoh nan megah bertebaran. Ada masjid, gedung sekolah,pemukiman santri, warung internet (warnet), kantin, ruang perpustakaan dan aulayang menghampar luas. Tak ayal, siapa pun yang melintasi kawasan itu, mereka akanmencuri pandang. Melirikkan  sorotpandangannya ke arah lereng gunung yang ‘disulap’ menjadi kompleks pondokpesantren (Ponpes) tersebut.

Itulah Ponpes Jawaahirul Hikmah (JH) asuhan KH Muhammad Zaki. Ponpes ini persisnya berada di Desa/Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.Tak jauh dari kompleks pondok terdapat pusat Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Neyama, Terowongan Neyama dan sentral pertambangan batu marmer Tulungagung yang sangat terkenal di penjuru dunia. Selain itu, Ponpes JH juga berada di jalur menuju obyek wisata Pantai Popoh dan Pantai Sidem. Jalur  ini  sekarang lagi dirintis menjadi jalur lintas selatan (JLS) yang tersambung ke sejumlah propinsi di Pulau Jawa.

Ponpes. Jawaahirul Hikmah III yang bermakna Mutiara-mutiara Hikmah atau lebih dikenal dengan sebutan “Pondok JH“, berdiri pada tanggal 25 Mei 1995. Didirikan oleh Prof. DR. (HC) K.H. Mochammad Zaki, M.M., Di Pondok Pesantren inilah telah berdiri hunian atau pondokan para santri yang selalu gigih dalam menimba ilmu siang dan malam.

Layaknya sebuah pesantren, Ponpes JH juga menampung banyak santri. Mereka berasal dari berbagai penjuru tanah air. Di Ponpes ini, KH Muhammad Zaki juga mendirikan dua lembaga pendidikan, SMP dan SMA Jawaahirul Hikmah. Selain santri mukim, Ponpes JH juga memiliki ribuan santri tidak bermukim yang mengaji ke pondok pada hari-hari tertentu.

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah III erat sekali hubungannya dengan awal mula KH Mochammad Zaki membuka usaha Penggergajian Marmer di Desa Besuki di lahan bekas sawah seluas 1,5 hektar pada tahun 1992. Disamping punya usaha Penggergajian marmer, Beliau telah mempunyai Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah I yang bertempat di Desa Berbek, Kec. Waru, Kab. Sidoarjo. Pada tahun 1994 santriwan dan santriwati Ponpes. Jawaahirul Hikmah I Sidoarjo mengadakan  kemah Pramuka di sana. Segala kegiatan seperti keterampilan pramuka,membaca Al qur’an, kegiatan Berbahasa Arab dan Inggris dan kegiatan menarik lainnya mereka gelar. Banyak warga sekitar yang tertarik akan kegiatan para santriwan dan santriwati  tersebut. Dampaknya para warga sekitar tertarik dan ingin belajar ilmu agama, sehingga mereka mendorong beliau KH. Mochammad Zaki untuk membuat Pondok Pesantren guna belajar membaca Al Qur’an dan ilmu agama disana. Hati Beliau terketuk, mengingat daerah tersebut pendidikan tentang agama masih sangat kurang sekali, hingga  akhirnya dibentuklah Pondok Pesantren yang diberi nama dengan Pondok Pesantren Jawahirul Hikmah III.

Pembangunan  diawali dengan membangun Masjid sederhana, beberapa kamar asrama dan sebuah Aula kecil, berhubung semakin banyaknya santri, maka bangunan masjid diperluas dan didirikanlah sebuah Aula yang luas di area bekas tempat  penggergajian  marmer. Perkembangan  Pondok  Pesantren dari tahun ke tahun semakin pesat, dari santri yang berjumlah ratusan menjadi ribuan. Oleh Karena itu beliau memperluas wilayah  Pondok  Pesantren dengan tukar guling lahan Perhutani seluas +/- 4,5 hektar yang terletak tepat di Selatan Pondok. Akhirnya pada tahun 1999 di lahan tersebut didirikan bangunan asrama baru yang peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Pangdam V Brawijaya yaitu bapak Ryamizard Ryacudu.

Pada tahun 2000 K.H Zaki mendirikan Drum Band untuk mengisi kegiatan ektrakurikuler para santri. Beliau mendatangkan pelatih Drum Band dari Gresik dan menambah peralatan Drum Band. Seiring berjalannya waktu, Drum Band JH semakin dikenal dan banyak menorehkan prestasi di beberapa ajang perlombaan Marching Band di Indonesia seperti Langgam di Bali dan GPMB ( Grand Prix Marching Band ) di Jakarta serta berbagai event besar lainnya. Pada tanggal 4 Juli 2003 Drum Band JH berubah nama menjadi Marching Band Jawaahirul Hikmah. Nama itulah yang kemudian membawa Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah menjadi salah satu Pondok Pesantren yang dikenal mempunyai satuan unit Marching Band yang handal. Hingga akhirnya diminta bantuan untuk mengisi acara-acara yang diadakan oleh Pemerintah seperti halnya acara parade Senja di Grahadi, acara Asean Scout Jambore, acara Peringatan Kemerdekaan RI dan acara-acara besar lainnya.

Tidak berhenti sampai disitu saja, Pada tahun 2006 Beliau KH. Mochammad Zaki mendirikan Pendidikan formal SMP Jawaahirul Hikmah yang kemudian disusul pada tahun 2007 mendirikan SMA Jawaahirul Hikmah. Dengan  adanya  Lembaga  Pendidikan  formal  tersebut,  diharapkan  Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah bisa menyiapkan dan membentuk generasi muda yang berwawasan  agama dan  berintelektual  tinggi. Berbagai macam prestasi yang diraih oleh SMP dan SMA Jawaahirul Hikmah dalam perlombaan skala regional dan nasional merupakan bukti keberhasilan Pondok Pesantren Jawaahirul Hikmah dalam membina santriwan dan santriwatinya. Kegiatan ekstrakurikuler seperti Pramuka dan Penilitian Ilmiah juga menghantar para santri untuk berprestasi di bidang tersebut.

Santriwan dan santriwati tidak hanya dari kalangan anak-anak dan pemuda saja, akan tetapi Bapak-bapak dan Ibu-ibu juga turut diberi bimbingan wawasan ilmu agama dan kehidupan oleh beliau KH Mocammad Zaki pada tiap malam jum’at dan hari Minggu. Mereka diberi bekal dalam mengarungi kehidupan ini untuk mewujudkan cita-cita yaitu bahagia diri sendiri dan keluarganya di Dunia dan Akherat.

Ditilik dari lokasinya, Ponpes JH memang berada jauh dari jantung kota. Ponpes ini didirikan di kawasan pegunungan yang berjarak sekitar 25 kilo meter arah selatan Kota Tulungagung. Meski begitu, reputasi Ponpes JH tak bisa dipandang sebelah mata. Salah satu buktinya, Ponpes ini memiliki group Marching Band tangguh yang sudah bereputasi tingkat nasional. Bahkan, Marching Band JH juga sering manggung di luar negeri.            

Belakangan, nama Pospes JH tambah berkibar. Pasalnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggandeng Ponpes ini sebagai tuan rumah Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional (PIRN) VII yang diikuti pelajar-pelajar se-Indonesia. Ponpes JH dipilih jadi tuan rumah PIRN, karena dinilai punya kepedulian terhadap remaja yang cinta ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek).

Menurut Deputi Bidang Ilmu Kebumian, LIPI telah mengumumkan, pada 2008 ini hanya akan menyelenggarakan perkemahan ilmiah remaja tingkat regional. Untuk tingkat nasional, PIRN akan digelar pada 2009. Tetapi, atas inisiasi dan wujud kepedulian Ponpes Jawaahirul Hikmah terhadap remaja cinta Iptek, akhirnya LIPI menyelenggarakan PIRN VII ini,

Beberapa tim dari LIPI juga menilai, kepedulian Ponpes JH terhadap perkemahan ilmiah remaja itu merupakan trend yang bagus. Pesantren mempunyai gagasan membangun Iptek semacam ini merupakan trend yang bagus. Ini apresiasi yang luar biasa bagi pesantren.

Pengurus sekaligus pendiri Ponpes JH, KH Muhammad Zaki mengakui, pesantrennya memang sangat concern terhadap kegiatan penelitian untuk pengembangan Iptek. Penelitian itu sumbernya dari Al Quran.  Dalam sejarahnya, Islam pula yang lebih dulu mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena itu, kami ingin mengembalikan seperti semula bahwa Islamlah yang menjadi sumber perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kepeduliannya terhadap Iptek, salah satunya dibuktikan melalui pengembangan budi daya lobster di kompleks pesantren. Meski berlokasi di lereng pegunungan, pesantren JH bisa membikin kolam-kolam dan mengairinya untuk budi daya lobster tersebut. ‘’Kami mengawalinya dengan budidaya lobster. Di gunung pun kita bisa membikin kolam. Ini sekaligus juga untuk pembelajaran bagaimana kita bisa menghemat air. Itu semua ada hubungannya dengan ekosistem. Makanya, di sekitar pondok juga Tanami pohon jati. Terkait dengan kepeduliannya terhadap kegiatan PIRN, KH Zaki menuturkan, pondok pesantren yang diasuhnya bermaksud membekali para santri tidak hanya dengan ilmu agama. Tetapi, tambahnya, para santri juga perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan umum dan teknologi. Untuk mencetak teknokrat berlandaskan iman dan memiliki wawasan ke depan sehingga membawa manfaat bagi Bangsa Indonesia dan seluruh umat manusia. Melalui PIRN itu pula, Ponpes JH juga ingin menunjukkan bahwa Umat Islam bisa hidup berdampingan secara damai dengan umat beragama lain tanpa membedakan suku, agama dan ras. Menurut K.H Zaki, PIRN juga merupakan momentum yang bagus untuk memupuk jiwa nasionalisme di kalangan remaja, yang beliau ungkapkan saat pembukaan PIRN VII yang berlangsung di Ponpes asuhannya.

Yang dituturkan KH Muhammad Zaki bukan isapan jempol belaka. Faktanya, peserta PIRN yang ditampung di Ponpes JH tak hanya dari peserta yang beragama Islam. Banyak diantara pelajar peserta PIRN justru berasal dari sekolah-sekolah non muslim. Selain itu, mereka juga berlatarbelakang suku dan ras yang berbeda-beda. Namun begitu, mereka bisa berdampingan mengikuti PIRN yang berlangsung selama sepekan itu.

Pada tanggal 9 April 2016 beliau wafat dan pengelolaan Pondok Pesantren diteruskan oleh putra beliau Gus H. Sofan Zaldi dan dibantu oleh Gus H. Wahyu Diansyah serta Gus Daris Syifa Auris hingga sekarang.

Sunan Kuning dan Islamisasi di Tulungagung

created by Wahyuningtyas Dwi Melasari

Meneliti dan mengamati beberapa situs benda cagar budaya Islam, dapat digunakanuntuk melacak proses islamisasi di suatu daerah. Berdasarkan data-data yang adatersebut nantinya dapat digunakan untuk menelusuri dan menganalisa kapan danbagaimana proses islamisasi di suatu daerah.Melacak masuknya ajaran agama Islam,merupakan suatu pekerjaan yang sulit dan membutuhkan keuletan, ketelitian, dan waktuyang cukup lama.

Sebagaimana untuk mengetahui proses masuknya agama Islam ke wilayahkadipaten Ngrowoini, yang sekarang menjadi kabupaten Tulungagung. Yang dapatmenjadi bukti dan referensi telah terjadi proses islamisasi di kabupaten ini.Sebagaimana Masjid tiban Sunan Kuning terletak di desa Macanbang kecamatanGondang kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Masjid yang terdapat makam di sebelahnya (makam Sunan Kuning) berada di tengah- tengah pemukiman penduduk, dikelilingi oleh pagar batu bata setinggi 1,5 meter,panjang 55 meter dan lebar 45 meter. Di sebelah barat dan selatan masjid SunanKuning terdapat pemakaman umum, diantaranya makam Sunan Kuning yangmempunyai nama asli Zaenal Abidin, dan dikelilingi oleh makam sahabat-sahabatnya.

Di sebelah masjid ini terdapat bangunan berbentuk bangunan joglo untuk makamSunan Kuning yang juga baru saja dibangun oleh masyarakat yang mempunyaikepedulian terhadapnya melalui dana swadaya. Sedangkan kijingan dan batu nisannyadiganti dengan batu marmer.

Menurut cerita panitia, batu marmernya didatangkan dari Campurdarat. Sedangkanmasjidnya sekarang sudah dipugar / direnovasi oleh Pemerintah Daerah KabupatenTulungagung dengan kucuran dana 100 juta rupiah dari anggaran pembangunan tahun2004. Karena termakan usia kondisi masjid sudah rusak berat, sehingga bangunanaslinya sudah diganti dengan bahan-bahan baru, namun bentuk dan luas masjid masihtetap sama dengan bangunan aslinya.

Sebelum dilakukan pemugaran masjid Sunan Kuning, sempat terjadi perbedaanpendapat antara kelompok yang masih mempertahankan keaslian masjid dengankelompok yang menginginkan pembaharuan masjid yang sudah tua.

Bagi yang menginginkan masjid Sunan Kuning tetap seperti apa adanya berdalih jikamasjid dipugar dan diganti dengan bangunan baru akan kehilangan rasa magisnya danbisa berakibat sepinya orang yang melakukan i’tikaf di dalam masjid. Karenabagaimanapun, kuat dan baiknya bangunan baru tetap berbeda dengan bangunan yangdibuat oleh seorang wali, Sunan Kuning.

Sedangkan bagi yang menginginkan pemugaran masjid berpendapat nilai magismasjid bukan terletak di bangunannya, tapi pada letaknya. Jadi seandainya masjidSunan Kuning direnovasi tidak akan mempengarui nilai magis selama tidak dipindahletaknya. Dan nyantanya, walaupun sudah dipugar, sampai saat ini juga masih banyakpeziarah, maupun yang i’tikaf di masjid ini.

Di dalam makalah “Sejarah Hutan Semampir Tahun 1800”, yang ditulis oleh NgabdulRasyid, Sunan Kuning memiliki nama asli Zaenal Abidin Putro yang merupakankeponakan Sunan Kudus dan menantu Sunan Ampel, tinggal serta berdakwah di dusunKrajan desa Macanbang kecamatan Gondang. Beliau wafat dan dimakamkan di baratmasjid tiban Macanbang.

Tahun 1478- 1550 Jw (1553-1625 M), Sunan Ampel mengembangkan wilayahpenyebaran Agama Islam sampai di daerah Ludoyo Blitar. Di Ludoyo ada seorang tokohmasyarakat bernama Ki Gawong yang memiliki kasekten dan murid banyak sekali. Padawaktu diadakan musyawarah antara pengikut Sunan Ampel dan Ki Gawong besertamurid- muridnya terjadi ketidaksepahaman antara dua kelompok tersebut dan padaakhirnya terjadi perselisihan dan peperangan. Peperangan antara dua kelompoktersebut dimenangkan oleh Ki Gawong dan murid-muridnya.Setelah pengikut Sunan Ampel kembali ke Surabaya, ia mendapat petunjuk agarputrinya, Siti Nuriyah, dijodohkan dengan Sunan Kuning yang kelak dapat mengalahkanKi Gawong di Ludoyo. Setelah menjadi menantu Sunan Ampel, Sunan Kuning mendapattugas ke Ludoyo menaklukkan Ki Gawong dan ternyata berhasil mengalahkan KiGawong beserta murid-muridnya serta meng-islamkannya.

Ketika Sunan Kuning dan Ki Gawong beserta murid-muridnya pergi ke Surabaya untukmelaporkan kepada Sunan Ampel, di tengah perjalanan istirahat di hutan Semampir(Kediri) untuk makan dan minum. Minuman yang diberikan Sunan Kuning oleh KiGawong diberi racun hingga menewaskannya. Akhirnya jenazah Sunan Kuning olehmurid- muridnya dibawa kembali/ pulang ke Desa Macanbang Kecamatan GondangTulungagung dan dimakamkan di barat masjid tiban Macanbang.Namun ada yang menduga bahwa sesungguhnya jenazah Sunan Kuning tidak dibawakembali oleh murid-muridnya ke Macanbang Gondang Tulungagung, tapi dimakamkandi makan Setono Gedong Kediri. Sedangkan makam yang ada di Macanbang sekarangini hanyalah petilasannya saja. Makam yang sesungguhnya ada di Setono Gedong dekatmasjid tiban yang belum jadi.Di dalam buku “Sejarah dan Babat Tulungagung”, tahun 1971, ta’mir masjid SunanKuning menyatakan bahwa masjid Sunan Kuning ditemukan oleh menantu Kyai AgengMuhammad Besari Tegalsari, Jetis, Ponorogo ketika menjalankan misinya menyebarkanAgama Islam.Kyai Ageng Muhammad Besari adalah ulama Ponorogo yang mendapat hadiah tanahperdikan mutihan (perdikan kaum santri) dari Sunan Pakubuwono II karena jasanyamembantu Sunan Pakubuwono II ketika melarikan diri dari Keraton Surakarta akibatgeger pecinan (pemberontakan orang- orang Cina) tahun 1743. Sunan Pakubuwono IImemerintah Keraton Surakarta tahun 1727- 1749.Sebagai bukti penghargaan dan penghormatan masyarakat Macanbang terhadaptokoh Sunan Kuning dibentuklah takmir masjid dan juru kunci makam untuk mengelolamakam dan masjid serta untuk melestarikan kesejarahannya.

Sejarah Peradaban Islam Di Desa Banjar, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek

derected by Vicky Maghfiroh

Desa Banjar sebelum menjadi sebuah desa atau sebelum ada penduduk yang menempati, dulu itu adalah sebuah ladang yang luas tempat padi di jajarkan secara berbanjar. Maka dari itu disebut sebaagai desa Banjar. Dan yang membabat ladang tersebut hingga menjadi lahan pemukiman yang luas adalah Mbah Kirangkung. Mbah Kirangkung adalah orang pertama yang ada di tempat itu. Berhubung Agama Mbah Kirangkung itu Islam jadi, masyarakat di Desa Banjar semua beragama Islam. Setelah wafat nya Mbah Kirangkung itu kemudian digantikan oleh Mbah Abdul Salam.

Pada saat itu kondisi Mbah Abdul Salam tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjuangannya mengembangkan Agama Islam, kemudian  beliau menyuruh temannya yang dari Pacitan bernama Ali Muntoho untuk mengembangkan Islam di Desa Banjar. Dan Masjid pertama kali yang ada di Desa Banjar terletak di dusun Pagersari yang sekarang bersebelahan dengan Balai Desa Desa Banjar. Ali Muntoho memiliki seorang murid yang bernama Tasrip dan kemudian Tasrip membangun Masjid di Pagersari juga namun jaraknya jauh dengan Masjid pertama. Dan Tasrip melanjutkan perjuangan Ali Muntoho mengembangkan Islam di Desa Banjar. Seiring berjalannya waktu kondisi Tasrip lemah sehingga tidak dapat melanjutkan perjuangannya. Tasrip pun meninggalkan seorang anak lelakinya yang bernama Rohmat dan memiliki mantu yang bernama Abdul Manap juga meninggalkan murid bernama Rosyad.

Kemudian diteruskan oleh Abdul Manap dan Rosyad, mereka memiliki murid bernama Tohir. Mbah Yai Tohir lah yang melanjutkan perjuangannya mengembangkan Islam setelah Mbah Abdul Manap dan Mbah Rosyad meninggal. Kemudian Mbah Yai Tohir membangun Pesantren, Pesantren itu adalah tempat pertama kali untuk mengembangkan ajaran Islam yang ada di Desa Banjar dan masih ada sampai sekarang, yang terletak di Pagersari dekat Masjid yang di bangun oleh Tasrip. Ada banyak santri/santriwati dari berbagai pulau yang menuntut ilmu di Pesantren tersebut. Setelah Mbah Yai Tohir Wafat, kini diteruskan oleh anaknya yang bernama Gus Fatah, sekaligus menjadi pengasuh Pondok Pesantren sampai sekarang.

Adapun Kecamatan Panggul merupakan pengangkatan laut karena karena lempeng Indo-Australian plate mendesak Eurasian plate, sehingga munculan tanah Jawa selatan termasuk tanah karst barisan Pegunungan Sewu (dari Cilacap sampai Banyuwangi). Pada zaman prasejarah Panggul merupakan daerah transit tempat dilaluinya perjalanan suku nomaden dari Pacitan menuju Wajak Tulungagung. Agama mayoritas Islam, aliran Kejawen.

Nama Ki Ageng Menak Sopal pasti sudah tidak asing lagi bagi warga Trenggalek. Selain seorang pemuka Agama Islam, beliau juga dianggap pahlawan bagi para petani pada zaman dulu hingga sekarang. Penyebaran Agama Islam secara intensif sejak zaman para wali yang di dukung oleh kerajaan Kesultanan Demak. Penyebaran Agama Islam di Trenggalek dilakukan secara halus dan hati-hati. Sampai saat ini, belum ditemukan dokumen tertulis yang menyebutkan tentang penyebaran agama Islam di Trenggalek. Hanya ditemukan cerita rakyat yang sangat terkenal serta diceritakan secara lisan dan turun temurun utamanya tentang tokoh Menak Sopal.

Sedangkan untuk menyusun sejarah lokal, maka cerita rakyat atau dongeng tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Memang harus dipisahkan antara sejarah dan cerita rakyat atau dongeng banyak versi tentang cerita Menak Sopal. Tetapi pada dasarnya, isinya tetap sama. Biasanya cerita semacam ini dihubungkan dengan nama-nama serta tempat dimana cerita itu berkembang.

Menurut Sahibul Hikayat, ada seorang yang berasal dari Mataram yang bertugas mengatur daerah di timur Ponorogo yang sekarang disebut daerah Trenggalek atau bisa disingkat Ki Ageng Galek. Sering kalau kita bicara tentang Mataram, selalu dihubungkan dengan Kerajaan Mataram Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan Mataram dalam cerita Menak Sopal ini tidak demikian, sebab Mataram yang dimaksud disini adalah Mataram wilayah milik Majapahit. Hal ini dibuktikan dari kitab Negara Kartagama Pupuh VI bait 3 yang menyebutkan antara lain “Haji Raja Ratu Ing Mataram Iwir Yang Kumara Nurun” Artinya raja Mataram, Laksana Dewa Kumara datang dibumi.

Penulis pada pernyataan yang terdahulu menyebutkan, bahwa Mataram dicerita ini adalah Mataram pada zaman Majapahit. Sebab dalam cerita ini dinyatakan bahwa KI Ageng Nggalek ditugasi memelihara seorang putri dari Majapahit yang bernama Amiswati atau Amisayu. Pada saat itu, kaki putri yang berpenyakit luka-luka dan berbau amis atau busuk. Ki Ageng Galek merasa bingung dalam melaksanakan tugas ini. Sebab semua obat telah dipergunakan, namun penyakitnya tidak kunjung sembuh. Karena bingungnya kemudian Dewi amisayu diminta mandi di Sungai Bagongan yang sekarang terletak di Kelurahan Ngantru Trenggalek. Karena merasa malu dan sedih, maka putri Amisayu mengadakan sayembara. Bahwa siapa saja yang dapat menyembuhkan luka-lukanya, bila wanita akan dianggap saudara dan bila pria akan dijadikan suaminya. Berita itu rupanya terdengar oleh raja dari seluruh buaya yang berkulit putih bernama Menak Sraba dan bertahta di Lubuk atau Kedung Bagongan. Kata buaya mengandung lambing bahaya. Sedangkan putih adalah lambang kesucian atau kesucian dari agama. Sedangkan kata Menak biasa dipakai oleh golongan priyayi atau pejabat pada zaman Islam utamanya dari suku sunda yaitu golongan bangsawan. Atau ingat cerita Menak jayeng Rana, Menak Jengga, Menak Koncar, mereka ini lahir sesudah Mataram menjadi kerajaan Islam.

Jadi, Menak Sraba adalah pimpinan umat Islam disekitar Trenggalek. Sedangkan, Kedung atau Lubuk artinya dalam. Jadi, Menak Sraba yang berasal dari Kedung berarti pimpinan umat islam yang berasal dari pedalaman. Menak Sraba yang berwujud buaya putih berubah menjadi manusia dan berwajah tampan juga rendah diri. Hal ini tampak didalam cerita itu, ketika Menak Sraba mengobati luka-luka Dewi Amisayu dengan cara menjilati luka di kaki sang Dewi. Menak Sraba akhirnya berhasil menyembuhkan Dewi Amisayu. Berkat tindakan itu, Ki Ageng Galek mau menerima Menak Sraba sebagai anggota keluarganya dan mengawinkannya dengan Dewi Amisayu.

Ketika Dewi Amisayu hamil 7 bulan atas pernikahannya dengan Menak Sraba. Menak Sraba memberi batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Diantaranya Dewi Amisayu tidak diperkenankan menjemur serta membuka tutup buah dadanya dan ikat pinggang kain panjangnya pada waktu matahari terbenam atau waktu Maghrib. Namun, Tuhan Yang Maha  Kuasa berkehendak lain dan larangan itu akhirnya tidak dapat dihindari. Pada suatu hari dan pada saat matahari terbenam Dewi Amisayu menjemur penutup buah dadanya dan membuka ikat pinggang kain panjangnya. Tidak lama kemudian Dewi Amisayu terkejut, karena menemui buaya putih di dalam ruangan kamar tidurnya. Buaya putih itu menerangkan bahwa sebenarnya dirinya adalah Menak Sraba. Kemudian buaya putih itu berpesan, bahwa besok bila Dewi Amisayu melahirkan dan anaknya laki-laki hendaklah diberi nama Menak Sopal.

Perlu diketahui, bahwa larangan Dewi Amisayu menjemur atau bertelanjang bulat pada waktu matahari terbenam atau waktu sholat Maghrib. Karena pada saat itu Menak Sraba selalu melakukan Sholat Maghrib dengan khusuk. Tetapi, Dewi Amisayu lupa dengan larangan yang telah disepakati dengan suaminya Menak Sraba dan akhirnya melepaskan bajunya. Sejak kejadian itulah Dewi Amisayu mengetahui bahwa suaminya sudah tidak beragama Hindu lagi, tetapi sudah menjadi pemeluk Agama Islam. Guna menghindari kekeruhan dalam keluarga dan keresahan rakyat Ki Ageng Galek, maka Menak Sraba kembali ke tempatnya semula yaitu Kedung Bagongan dan meninggalkan Dewi Amisayu. Dewi Amisayu belum siap hidup bersama seorang muslim. Setelah Menak Sopal tumbuh dewasa, dia mulai bertanya kepada Ibunya mengenai siapa sebenarnya ayahnya. Akhirnya dewi Amisayu menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Menak Sopal ankanya tersebut. Mendengar cerita dari Ibunya, Menak Sopal bergegas mencaryi ayahnya ke tempat yang telah disebutkan Ibunya.  Sesampainya di padepokan yang dimaksud, Menak Sopal langsung diajarkan mengenai syariat Islam oleh ayahnya. Pendidikan Agama Islam yang diajarkan oleh ayahnya dalam waktu yang cukup lama membuat ankanya menjadi seorang yang religious dan mengharapkan bahwa masyarakat sekitar juga menjadi muslim. Untuk itu ia akan mencari cara agar masyarakat tergetak untuk memeluk Islam. Karena masyarakat waktu itu bekerja sebagai petani dan area sawahnya sering dilanda banjir, Menak Sopal bermaksud mendirikan sebuah bendungan atau dam untuk membantu warga. Usaha demi usaha Menak Sopal gagal. Karena itu ia meminta saran kepada ayahnya untuk membantu membuat bendungan tersebut. Ayahnya menyuruh Menak Sopal untuk mencari bantuan kepada Mbok Rondo Krandon. Mbok Rondo tidak keberatan membantu Menak Sopal dan akhirnya mengirimkan bawahannya untuk membantu proses pembuatan Bendungan tersebut. Setelah bekerjasama dengan Mbok Rondo dan bawahannya akhirnya bendungan yang di dambakan warga terselesaikan. Dan sawah yang biasanya mengalami gagal panen karena akibat banjir sekarang telah terbebas dari banjir dan hasil panen dapat dihasilkan secara maksimal dengan baik. Karena itu sedikit demi sedikit masyarakat sekitar bersedia memeluk Islam dan meninggalkan kehidupan Hindu. Usahanya sebagai penyiar Islam ternyata berhasil dan menjadi kepercayaan seluuh masyarakat Trenggalek. Sejak adanya Menak Sopal Sampai sekarang sudah tidak ada lagi pembangunan kuil di wilayah Trenggalek. Malah mengalami perkembangan pemabngunan Masjid atau Mushola di  wilayah Trenggalek. Untuk mengingat jasa dari Menak sopal tersebut, di dam yang dulunya di bangun oleh Menak Sopal yang sekarang dikenal dengan Dam Bagongan selalu diadakan Tradisi Nyadran tiap tahunnya. Uapacara nyadran ini berbeda dengan upacara nydran pada umumnya. Nyadran di Ngantru Trenggalek ini jelas tujuannya yaitu untuk memperingati keberhasilan Menak Sopal membangung Dam untuk membantu masyarakat Trenggalek . Ini menjadi bukti bahwa penyebaran Islam di Trenggalek melalui jalan yang damai dan dari usaha yang dilakukan Menak Sopal nantinya menghasilkan kebudayaan yang menjadi ikon dari Kabupaten Trenggalek. Sehingga ada salah satu tempat di Trenggalek yang memakai nama Menak sopal yaitu Stadion Menak Sopal. Sebuah tempat untuk melakukan berbagai kegitan jenis olahraga tentunya, dan masih banyak lagi kegunaanny